Rabu, 21 November 2018

Perilaku Konsumtif dan Pencipta-nya (Kapitalisme)

Dewasa ini model pakaian, tas, topi, sepatu atau apa pun yang berhubungan dengan fashion selalu berubah dan berganti model tiap bulannya, dan selalu laku, juga menjadi rebutan para pembeli di mall-mall, meskipun dengan harga yang setinggi langit dan kualitas yang rendah pun tak mengapa asal barang tersebut branded. Tempat makan dengan menu dan suasana kebarat-baratan seperti McDonald dan Starbucks selalu dipenuhi pengunjung setiap harinya walaupun harganya cukup mahal dibanding harga makanan tempat makanan lokal. Semakin beragamnya gadget-gadget yang dimiliki anak-anak kecil sampai orang dewasa, padahal penggunaannya tidak didasari atas kelebihan dan fungsi gadget itu sendiri, seakan takut dianggap ketinggalan zaman jika tidak membeli model terbaru. Apakah yang sebenarnya sedang terjadi?

Fenomena yang telah dipaparkan diatas merupakan perilaku manusia yang lazim kita lihat dewasa ini di kota besar di Indonesia, yang disebut sebagai perilaku konsumtif. Konsumtif dapat didefinisikan sebagai suatu aktivitas manusia dalam mengkonsumsi barang atau jasa yang secara berlebihan atau yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Biasanya perilaku konsumtif terjadi karena seseorang tidak bisa membedakan mana yang kebutuhan (need) dengan mana yang keinginan (want). Kebutuhan adalah sesuatu yang harus dipenuhi manusia sebagai mahluk praksis (sebagai organisme sekaligus mahluk sosial), seperti makanan, minuman, seks dan lain-lain sesuai konsep kebudayaan masing-masing. Jika kebutuhan tidak terpenuhi, maka hidup manusia tidak akan sejahtera. Sedangkan keinginan adalah plus-plus atau tambahan setelah kebutuhan terpenuhi. Keinginan berorientasi pada rasa puas manusia terhadap ‘sesuatu’[1]. Sedangkan keinginan dan rasa puas manusia itu tidak ada batasnya. Perilaku konsumtif sendiri terjadi karena keinginan telah berubah ‘seakan menjadi kebutuhan’, seolah-olah jika tidak terpenuhi, manusia tidak akan sejahtera atau tidak ‘dianggap’ sejahtera.

Jika kita berbicara mengenai perilaku konsumtif, sangat kurang rasanya jika tidak mengaitkannya dengan kapitalisme. Karena menurut saya kapitalismelah yang bertanggung jawab atas aktivitas[2] manusia ini, beberapa aktivitas telah saya papar kan di awal tulisan ini. Jadi saya akan menjelaskan kapitalisme dulu secara sederhana dari sudut pandang Marxisme. Menurut Karl Marx, kapitalisme adalah sebuah mode produksi atau corak produksi yang di dalamnya terdapat kekuatan produktif berupa pabrik dan mesin-mesinnya, dan relasi produksi yang berupa kerja upahan. Kepercayaan terhadap hak kepemilikan pribadi sebagai sesuatu yang alamiah yang telah digariskan oleh Tuhan dalam kehidupan manusia juga yang telah menjadi salah satu cikal bakal terciptanya mode produksi ini. Jadi dalam mode produksi kapitalisme ada yang berperan sebagai pemilik kekuatan produksi atau pemilik modal yang biasa disebut ‘kapitalis’, dan ada yang berperan sebagai tenaga kerja untuk mengerjakan produksi yang dibutuhkan kapitalis, yaitu ‘buruh atau tenaga kerja upahan’. Kelas bawah atau buruh, mau tidak mau, harus menjual tenaganya kepada kapitalis karena mereka tidak memiliki  kekuatan produktif atau sarana produksi untuk memproduksi segala kebutuhan hidupnya demi melanjutkan hidupnya. Di dalam mode produksi kapitalisme, buruh bekerja memproduksi suatu barang yang bernilai tertentu tetapi digaji atau diupah jauh dibawah nilai harga barang yang ia produksi itu. Fakta yang penting adalah bahwa pekerja atau buruh selalu dibayar lebih rendah daripada nilai barang yang diproduksi.[3] Ini lah salah satu eksploitasi yang dilakukan kapitalis terhadap kelas bawah. Bahkan menurut Max Weber, kapitalisme bukan hanya bertujuan mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya, tetapi keuntungan itu haruslah berkelanjutan dan ditopang usaha perhitungan yang rasional.[4] Inilah yang membuat kapitalisme menjadi sistem yang kuat sampai saat ini.

Menurut Karl Marx sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas. Maksudnya disini adalah bahwa setiap formasi sosial[5] di dalam masyarakat pasti memiliki kelas[6], ada kelas yang mendominasi dan ada juga yang subordinat/terdominasi. Kelas yang mendominasi adalah kelas atas, sedangkan kelas yang subordinat adalah kelas bawah. Kelas yang subordinat yang telah tersadarkan[7] akan ekploitasi ini akan berusaha untuk merubah keadaan ini dengan revolusi, yang sebelumnya sudah terjadi banyak perubahan sebagai prasyarat revolusi itu sendiri. Jika terjadi revolusi, maka formasi sosial yang sedang mendominasi pasti akan runtuh dan tidak mendominasi lagi, walaupun tidak akan langsung punah. Kapitalisme sebagai mode produksi atau corak produksi yang sedang mendominasi dalam formasi sosial tidak mau jika kedudukannya turun tahta seperti yang telah terjadi terhadap pendahulunya yaitu feodalisme dan perbudakan . Oleh karena itu kapitalisme melakukan berbagai cara untuk mempertahankan dominasinya dalam formasi sosial, salah satunya seperti yang dikatakan Max Weber: ‘keuntungan yang berkelanjutan dan ditopang usaha perhitungan rasional’.

Cara kapitalis untuk mempertahankan posisinya dalam  formasi sosial adalah dengan cara menciptakan ideologi, keyakinan, dan gagasan yang terdapat didalam institusi-institusi yang hidup di masayarakat, yang tujuannya untuk membuat masyarakat kehilangan kesadarannya akan penghisapan yang dilakukan oleh kelas atas (kapitalis). Kehilangan kesadaran ini sering disebut Marx dengan kesadaran palsu. Karena kesadaran palsu inilah akhirnya warga masyarakat tidak akan sadar akan penghisapan yang dilakukan sistem kapitalisme, dan sistem ini akan tetap tampak superior di dalam masyarakat yang bergaris lurus dengan tidak akan terjadinya revolusi untuk menurunkan tahtanya di dalam formasi sosial. Karena menurut pandangan Marxis, cara kapitalis yang paling efektif untuk menjadikan masyarakat tunduk adalah melalui pikiran mereka sendiri, yakni gagasan dan keyakinan mereka.[8] Ala pemerintahan Orba yang melegitimasi Anti-Komunis di negara ini.
Salah satu contoh institusi yang melanggengkan sistem kapitalisme adalah institusi pendidikan. Pada dasarnya tujuan hakiki institusi pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi adalah untuk memanusiakan manusia atau proses humanisasi.[9] Maksudnya, di sinilah anak manusia diberikan pemahaman tentang hakikat kehidupannya sebagai manusia yang ber-relasi dengan manusia lain dan juga dengan alam, dimana mereka bertopang hidup. Tetapi kapitalisme merubah fungsi institusi ini.  Sekarang sekolah dan perguruan tinggi berfungsi untuk menciptakan lulusan siap kerja, perekerja yang akan dijadikan budak kapitalisme untuk membantu kerja sistem ini dalam menghasilkan produk. Kenapa harus orang sekolahan yang dijadikan pekerja? Mengutip dari tulisan Dede Mulyanto yang berjudul Empat Cerita Ihwal Keluarga, menurutnya:
“Setidaknya, tenaga-tenaga kerja yang memasuki pasar industrial haruslah sudah dididik sedemikian rupa sehinggap dapat dioperasikan di pabrik-pabrik manufaktur bermesin modern, tambang-tambang berteknologi tinggi, laboratorium canggih, dan kantor-kantor dengan manajemen administrasi yang semuanya mengandaikan kemampuan baca tulis dan (kini komputer).”(Mulyanto, 2014)

Institusi pendidikan bukan hanya menciptakan lulusan siap kerja yang sangat dibutuhkan kapitalisme tetapi juga mencetak lulusan siap konsumsi. Konsumsi disini yang dimaksud adalah konsumsi produk kapitalis. Kenapa siap konsumsi? Karena pendidikan zaman sekarang telah membuat orang jadi lebih ‘mengenal pasar’ (produk ciptaan kapitalis) dan ‘membutuhkannya’. Jadi bagaimana kapitalisme tidak semakin meradang di dalam kehidupan masyarakat, kalau institusi yang tujuan awalnya untuk memanusiakan manusia atau proses humanisasi malah mencair bersama kapitalisme dan mencetak lulusan siap kerja dan siap konsumsi.

Di samping kapitalisme telah menciptakan ideologi, keyakinan, dan gagasan di dalam institusi-institusi yang menghilangkan kesadaran masyarakat akan peghisapan yang dilakukan sistem ini, kapitalis juga membentuk pola konsumsi dan selera masyarakat, seperti yang sudah dikatakan sebelumnya. Ini bertujuan untuk menjual barang hasil produksi massalnya itu. Kenapa kapitalis memproduksi barang secara massal? Ya, tujuannya untuk menekan biaya produksi agar dapat meraup keuntungan yang besar. Oleh karena itu kapitalis menciptakan  apa yang dinamakan oleh aliran Frankfrut dengan kebudayaan massa atau kebudayaan populer (pop culture). Menurut para pemikir aliran Frankfrut, kebudayaan populer adalah bentuk dari selera masyarakat yang seragam, seperti dalam selera berpakaian, musik, desain, gaya hidup, dan lain-lain yang semuanya sudah pasti produk kapitalis. Karena dengan selera masyarakat yang seragam ini, kapitalis dengan mudah menjual hasil produksi massalnya itu, untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya.

Aliran Frankfrut menganggap kebudayaan populer telah membuat masyarakat modern tidak memiliki budaya tinggi atau budaya elit lagi dikarenakan semuanya telah seragam. Kebudayaan populer juga melemahkan proses berpikir warga masyarakat dan membuatnya tidak kritis dan sadar lagi. Menurut aliran ini, kapitalis membentuk selera masyarakat melalui peran media massa (televisi, radio, majalah, dan lain-lain) . Karena di zaman modern seperti ini pengaruh media massa dalam kehidupan masyarakat sangatlah besar. Jadi selera atau pandangan hidup manusia modern pada saat ini sudah dibentuk atau di dikte melalui media massa. Selera yang seragam ini lah yang membuat manusia modern  menjadi rasis dan mendiskriminasi, karena jika ada orang atau suatu kelompok sosial tidak mengikuti model apa yang dipaparkan oleh media massa, maka akan dianggap menyimpang atau tidak mengikuti yang baik yang berlaku di masyarakat. Contohnya: ada istilah “alay”, padahal kalau ditelusuri lebih jauh konsep “alay” ini masih rancu, misalnya: kelompok A menyebut kelompok B “alay”, kelompok B menyebut kelompok C “alay”, kelompok C menyebut kelompok A “alay”, dan seterusnya. Karena sebenarnya, intinya, masyarakat modern mengharapkan keseragaman dalam selera, jadi ketika ada kelompok yang berbeda dengannya terutama masalah ‘selera fashion’, maka akan disebut “alay”. Sungguh ironis memang. Jadi jika kita tidak mengikuti model dengan mengkonsusmi produk kapitalis, kita akan didiskriminasi oleh orang-orang yang kesadarannya telah berhasil dipalsu-kan oleh kapitalis. Ya, ini bertujuan agar makin banyak yang mengkonsumsi produk kapitalis, entah karena sudah tertipu daya oleh kesadaran palsu ataupun hanya karena takut didiskriminasi oleh yang telah tertipu daya itu, yang jumlahnya memang mayoritas. Media massa seakan-akan dijadikan sebagai panutan dalam berkebudayaan. Jadi kurang jahat apalagi kapitalisme? Sudah menyeragamkan selera, melemahkan proses berpikir, membuat kita rasis pula.

Tapi disini saya tidak mau menelan mentah-mentah konsep yang diberikan oleh aliran Frankfrut mengenai kebudayaan populer, yang merupakan selera seragam masyarakat modern. Saya juga akan menggunakan konsep dari Pierre Bourdieu, yang menurutnya tindakan/praktik seseorang atau masyarakat ditentukan oleh habitus-nya, maksud dari habitus disini ialah sistem kecondongan (disposisi) yang relatif langgeng yang dihasilkan oleh struktur yang membentuk suatu kondisi kehidupan materi yang khas.[10] Menurut Bourdieu, di dalam masyarakat terdapat kelas bawah, menengah, dan atas. Setiap kelas ini memiliki habitus yang berbeda. Jadi menurut hemat saya, jika kita menggabungkan kosep kebudayaan populer dari aliran Frankfrut dengan konsep habitus dari Bourdieu, kesimpulannya: setiap kelas atau habitus memiliki kebudayaan populernya masing-masing yang berbeda. Contoh, misalnya: masyarakat kelas atas menyukai/mengkonsumsi musik klasik; kelas menengah menyukai/mengkonsumsi musik pop, alternatif, dan rock; kelas bawah menyukai/ mengkonsumsi musik dangdut dan pop melayu.

Disini dapat disimpulkan bahwa dengan kelas dan habitus yang berbeda, menciptakan selera dan tindakan sosial yang berbeda pula. Habitus yang berbeda, menanamkan gagasan, nilai, keyakinan dan selera yang berbeda. Ini bertujuan untuk kepentingan kapitalisme dalam mempertahankan tatanannya. Menurut Marxis, gagasan dan keyakinan dan nilai-nilai dominan dalam suatu masyarakat kelas (gagasan yang paling disepakati bersama) tidaklah hadir secara kebetulan.  Gagasan, keyakinan dan nilai-nilai itu bertindak sebagai ideologi, memelihara struktur yang ada, yang tanpa ideologi itu struktur itu akan runtuh.[11] Yang membuat sistem kapitalis ini tetap hidup adalah karena institusinya terbagi-bagi sehingga perhatian terhadap realitas eksploitasi pun terpecah-pecah.[12] Salah satu wahana paling penting dalam hal ini adalah hiburan atau kebudayaan populer seperti yang telah disebutkan aliran Frankfrut. Hiburan dan budaya populer ini lah yang menjadi produk yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat dewasa ini, yang menimbulkan perilaku konsmtif.

Institusi, media massa, ideologi, keyakinan atau  apa pun yang berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai dalam benak kita, telah berpengaruh besar dalam pembentukan pola perilaku kita, termasuk perilaku konsumtif. Jadi pencipta perilaku konsumtif ini menurut saya adalah kapitalis beserta algojo-algojo-nya. Perilaku konsumtif erat hubungannya dengan hedonisme. Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa seseorang akan menjadi bahagia dengan mencari kesenangan sebanyak mungkin. Kesenangan dalam konteks pembahasan ini, adalah kesenangan yang didapat dengan cara mengkonsumsi barang dan jasa. Jadi inti dari pandangan ini adalah kesenangan adalah satu-satunya tujuan hidup manusia. Bisa disimpulkan juga bahwa perilaku konsumtif adalah aktivitas mengkonsumsi barang atau jasa demi mencari kesenangan semata. Tapi apakah kebahagian atau kesenangan ada batasnya? Menurut saya tidak, kesenangan manusia tidak ada batasnya, manusia selalu mencari yang lebih dan tak ada ujungnya, karena didasari oleh  keinginan bukan kebutuhan. Disinilah letak keterkaitan antara perilaku konsumtif dengan budaya yang diciptakan kapitalis. Karena kapitalisme tidak mau begitu saja tahtanya dalam formasi sosial hancur karena adanya kesadaran kolektif diantara orang-orang yang tereksploitasi ini, maka diciptakanlah budaya konsumtif agar setiap orang tidak sadar jika sebenarnya mereka telah di eksploitasi, ketidaksadaran ini dikarenakan mereka sibuk mencari kesenangan yang tidak ada ujungnya itu.

Apalagi di negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia ini, yang masyarakatnya masih ber-romantisme bersama raja-raja, dewa-dewa, dan apa pun yang di ‘per-Tuhan-kan’. Negara dengan masyarakat yang seperti ini sangat-lah rentan menjadi korban kapitalisme paling mengenaskan. Karena dengan masuknya kapitalisme ke dalam kehidupan masyarakat yang seperti ini, ‘seakan’ telah membebaskan mereka dari kehidupan yang irasional selama ini. Mengutip tulisan Samir Amin dalam buku John Clammer:
“…….ketika kapitalisme berhasil membebaskan mereka dari diri mereka sendiri. Semua yang dapat ia berikan pada mereka hanyalah ideologi yang mengalienasi, yakni “masyarakat konsumer”, prospek “pertumbuhan” konsumsi jangka pendek tanpa merujuk pada kebutuhan-kebutuhan riil manusia.”[13]
Jadi perilaku konsumtif dewasa ini adalah produk rekonstruksi sosial yang telah diciptakan oleh kapitalisme untuk mempertahankan dominasi tatanannya. Masyarakat dibuat tidak sadar akan ekploitasi yang sedang terjadi, dan merasa sistem yang sedang berjalan di dunia yang mereka tempati sekarang ini adalah alamiah dan sedang baik-baik saja. Bahkan buruh pun yang sebenarnya paling tereksploitasi secara langsung telah dibuat agar tidak sadar akan ekploitasi yang dilakukan sistem ini, dengan memberikannya jalan untuk memenuhi hasrat konsumsi yang tinggi, dengan cara memberi bonus gaji jika mereka bekerja dengan giat sampai-sampai setiap hari harus bekerja di pabrik. Contoh: banyak buruh di kota-kota besar, baru beberapa bulan bekerja di pabrik, langsung meng-kredit motor dan membeli barang-barang yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan. Ini menunjukan bahwa kelas bawah telah dibutakan ‘seakan-akan’ dimakmurkan oleh kapitalis, padahal itu bersifat hanya sementara, itu hanya bertujuan untuk membangun etos para pekerja baru yang sedang produktif-produktifnya untuk meluangkan seluruh waktunya untuk memproduksi barang kapitalis, yang jika nanti tenaga mereka sudah dianggap tidak produktif mereka akan dibuang begitu saja oleh kapitalisme seperti kacang lupa kulit. Ya, karena tak ada satu pun kapitalis di dunia ini yang mengenal kesetian, semuanya rasional akumulasi kapital.

Jadi kapitalisme telah menciptakan suprastruktur didalam otak masyarakat melalui institusi dan media massa untuk kepentingan mereka (kapitalis), agar tercipta aktivitas produksi-konsumsi yang sebenarnya eksploitatif demi kepentingan kapitalis, yaitu meraup keuntungan sebesar-besarnya yang berkelanjutan dan juga mempertahankan dominasinya dalam formasi sosial di masyarakat dewasa ini.


Rengga Frinaldi



Daftar Pustaka
Clammer, John. 2003. Neo-Marxisme Antropologi: Studi Ekonomi Politik dan Pembangunan.      Yogyakarta: Sadasiva.
Fakih, Mansour. 2011. Mengembalikan Universitas dan Sekolah sebagai Lembaga Pendidikan dari Komodifikasi ke Transformasi, dalam Mencari Indonesia: Meninjau Masa Lalu, Menatap Masa Depan (Sebuah Tinjauan Kultural). Sumedang: LPPMD Unpad.
Jones, Pip. 2010. Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Fungsionalisme hingga Post-modernisme. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Mulyanto, Dede. 2010. Kapitalisme: Perspektif Sosio-Historis. Bandung: Ultimus.
Mulyanto, Dede. 2011. Antropologi Marx: Karl Marx Tentang Masyarakat dan Kebudayaan. Bandung: Ultimus.
Mulyanto, Dede. 2014. http://indoprogress.com/2014/02/empat-cerita-ihwal-keluarga/
Riawanti, Selly. Rev.2009. Slide Mata Kuliah Teori-Teori Sosial Kontemporer: Teori Praktik Pierre Bourdieu.




[1] Dalam konteks pembahasan ini yaitu barang dan jasa
[2] Yang dimaksud aktivitas disini adalah perilaku konsumtif.
[3] Lih Pip Jones, 2010: 83
[4] Lih Dede Mulyanto, 2010: 8
[5] Formasi sosial bisa merujuk, paling tidak, pada dua hal, yaitu jenis-jenis masyarakat sesuai corak produksi dominannya seperti ‘masyarakat’ feodal, ‘masyarakat’ kapitalis, dan sebagainya; dan juga bisa merujuk pada masyarakat tertentu seperti masyarakat Inggris atau Jerman, misalnya. Tetapi, inti dari penggunaan konsep formasi sosial untuk merujuk masyarakat menandakan bahwa dalam pemikiran Marx, perubahan merupakan unsur utama dalam setiap masyarakat. Masyarakat bukanlah sesuatu yang ajeg, tetapi terus menerus mengalami proses pembentukan. (Mulyanto, 2011: 80)
[6] Kecuali formasi sosial komunis primitif dan komunis.
[7] Kesadaran ini disebut oleh Karl Marx dengan ‘kesadaran kolektif’.
[8] Lih Pip Jones 2010, 86
[9] Lih Mansour Fakih 2011, 75
[10] Selly Riawanti, Dalam slide Mata Kuliah Teori-Teori Sosial Kontemporer: Teori Praktik Pierre Bouedieu
[11] Lih Pip Jones 2010, 86
[12] Ibid 88
[13] Lih John Clammer, 2003: 225
#2019GantiGayaHidup #ubahcarapandang  #gayahidupproduktif, Perilaku konsumtif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Investasi Jangka Panjang

Menanamkan dana untuk investasi merupakan pilihan yang tepat untuk masa depan. Pilihan investasi jangka panjang bisa menjadi pilihan...