tirto.id - Dalam salah satu novelnya yang berjudul
1Q84,
Haruki Murakami pernah menulis, “Saat Anda mencapai usia tertentu,
hidup menjadi tidak lebih dari proses kehilangan secara terus-menerus.
Hal-hal yang penting dalam hidup mulai lepas dari genggaman Anda, satu
demi satu, seperti gigi yang copot. Dan satu-satunya hal yang mengambil
tempat itu semua adalah tiruan yang tak berharga.”
“Kemampuan
fisik Anda, harapan Anda, mimpi Anda, keyakinan Anda, semua makna, atau
kemudian lagi, orang-orang yang Anda cintai: satu per satu, itu semua
memudar. Beberapa memberikan tanda sebelum pergi, sementara yang lain
pergi begitu saja tanpa peringatan. Dan setelah semua pergi, Anda tidak
bisa mendapatkannya kembali. Anda mencari penggantinya tapi seringkali
tidak berjalan sesuai dengan keinginan Anda. Itu semua sangat
menyakitkan – sama menyakitkannya saat dipotong dengan pisau.”
Haruki Murakami lahir di Kyoto 69 tahun lalu. Pada April 1978, saat usianya masih 29 tahun, ia menonton
pertandingan bisbol di Stadion Jingu, Tokyo. Saat itu, tiba-tiba saja,
Murakami berpikir ia bisa menulis novel. Sekaligus juga, ia sadar bahwa
dunia yang akan dijalaninya tidak akan sehat. Ia akan menghabiskan
waktunya di depan mesin tulis, menghabiskan 60 batang rokok per hari
untuk membantunya berkonsentrasi.
Saat berusia 33 tahun, ia lalu
berhenti merokok. Namun, masalah kesehatan lain muncul: tanpa nikotin,
timbunan lemaknya berlebih. Dari situ, ia memutuskan untuk mulai
berlari, tergila-gila, rajin ikut maraton, hingga menulis sebuah memoar
berjudul
What I Talk About When I Talk About Running.
Selain menyoal kesehatan ada satu alasan lain mengapa Murakami rajin berlari. Semakin tua, seperti yang ia tulis di
1Q84,
ia akan mulai kehilangan hal-hal yang menyenangkan. Namun ia tidak
ingin kehilangan kesenangan dalam satu hal yang terus ia perjuangkan
sampai sekarang: ia masih ingin terus berkarya dengan sebaik-baiknya.
“Saat Anda menulis, kemampuan fisik Anda sangat penting,“ ujar
Murakami, mengenai pentingnya kemampuan fisik dalam menulis. “Anda
duduk sepanjang hari dan terus menulis, jadi itu membutuhkan banyak
energi, meski banyak orang tampak tidak percaya dengan pendapatku ini.”
Jika
menjaga kondisi fisik amat penting bagi sastrawan seperti Murakami,
tentu saja itu lebih penting bagi seorang atlet. Bagaimanapun,
kelangsungan hidup seorang atlet akan diukur dari kemampuan fisiknya.
Apa artinya sebuah bakat jika fisik sudah tidak bisa diandalkan?
Pensiun
bisa menjadi pilihan masuk akal. Bermain sekadarnya, sambil menikmati
kariernya yang mulai menukik tajam, juga tak salah. Namun bagi Cristiano
Ronaldo, Kobe Bryan, dan Ichiro Suzuki hal-hal seperti itu justru tak
masuk akal. Bagi mereka, masa tua bukanlah alasan ideal untuk mengenang
kehebatannya: mereka ingin selalu menjadi yang terhebat.
Nutrisi Penting Ronaldo
Sebagai pesepakbola, Ronaldo memang hampir meraih segalanya. Ia
sangat tenar di segala penjuru dunia, tentu. Prestasinya tak cukup
dihitung dengan jari. Kekayaannya melimpah. Namun, meski sudah berusia
33 tahun, ia belum mau berhenti menulis namanya dengan tinta emas di
jagad sepakbola. Alasannya: kondisi fisiknya masih hebat, tak kalah
dengan orang berusia 23 tahun.
Menurut tim pelatih Madrid pada April 2018 lalu, kandungan lemak di
dalam tubuh Ronaldo hanya sebesar 7%. Padahal, kandungan lemak
kebanyakan pemain mencapai 10% hingga 11%. Selain itu, massa ototnya
juga jauh lebih bagus daripada pemain kebanyakan. Sementara kebanyakan
pemain massa ototnya tak lebih dari 46%, massa otot Ronaldo mencapai
50%.
Selain etos kerja, salah alasan lain mengapa kondisi
fisik Ronaldo bisa seperti itu adalah melalui asupan nutrisi yang
dikonsumsinya. Ia hanya mengkonsumsi makanan sehat dan tak mau
berkompromi terhadap makanan-makanan lezat yang bisa merugikan
kesehatannya.
“Saya konsisten dalam melakukan diet, makan makanan sehat, dan
menghindari hal-hal buruk seperti mengkonsumsi alkohol, minuman bersoda
atau makanan olahan. Saya selalu fokus terhadap makanan sehat sederhana,
seperti buah dan sayuran segar, biji-bijian dan protein tanpa lemak.
Saya juga suka ikan segar dan mengandalkan banyak protein dari situ,”
ujar Ronaldo, dilansir dari
FourFourTwo.
Perkara minuman, Ronaldo juga tak luput mengkonsumsi minuman olahraga,
mengandung vitamin B12, yang membantunya dalam mengatasi kelelahan.
Yang menarik, kebiasaan Ronaldo tersebut ternyata pernah
mengecewakan Patrick Evra. Saat mereka masih bermain di Manchester
United, Patrick Evra pernah diajak berkunjung ke rumah Ronaldo. Evra
kemudian berharap bisa makan makanan lezat di rumah Ronaldo. Namun,
makanan lezat hanya ada di dalam pikirannya: di meja makan Ronaldo hanya
ada menu makanan sehat yang menurutnya kurang lezat.
“Jika Anda diajak makan siang ke rumah Ronaldo, berpikirlah dua kali sebelum mengiyakan,” saran Evra, dilansir dari
Business Insider.
Meski begitu, Evra juga harus tahu bahwa menu makanan itulah menjadi
salah satu penyebab mengapa Ronaldo masih mampu berlari dengan kecepatan
33,98 kilometer/jam pada Piala Dunia 2018 beberapa waktu lalu. Dan saat
Ronaldo berusia 37 nanti, sama seperti usia Evra saat ini, barangkali
Ronaldo masih akan berlari kencang di Piala Dunia 2022.
Etos Kerja Kobe Bryant
Dalam bukunya yang berjudul
Basketball [and Others Thing],
Shea Serrano berpendapat bahwa Kobe Bryant tidak pernah benar-benar
menjadi pemain terbaik di NBA di sepanjang kariernya. Pendapatnya itu
tidak asal-asalan, tetapi berdasarkan data statistik yang ia himpun dari
tahun 1997 hingga tahun 2016 lalu.
Shea Serrano barangkali
benar, tapi juga bisa salah. Kenyataannya, meski tak pernah menjadi
pemain terbaik [setidaknya menurut penulis
The Ringer tersebut], Kobe lima kali meraih gelar NBA, dua kali membawa Amerika meraih gelar Olimpiade, empat kali menyabet MVP
All-Star, dua kali meraih MVP final, sekali meraih MVP reguler, dan gelar-gelar lainnya. Selain itu, Kobe merupakan pemain ketiga
yang paling banyak mencetak angka di sepanjang sejarah NBA dengan
33.643 poin, hanya kalah oleh Kareem Abdul-Jabbar [38.387] dan Karl
Malone [36.928].
Yang menarik, jika status Kobe sebagai pemain
terbaik masih bisa diperdebatkan, kemampuannya untuk selalu menjadi yang
terhebat seharusnya tidak bisa dibantah. Scott Davis, dalam salah satu
tulisannya di
Business Insider, mempunyai 24 alasan mengapa etos kerja Kobe Bryant dianggap tidak wajar. Sementara Mike Sager, dalam tulisannya di
Esquire, mempunyai cerita saat Kobe menghabiskan musim panas untuk melakukan 100 ribu tembakan.
Robert, salah satu pelatih timnas Amerika di Olimpiade 2012, juga mempunyai pengalaman menarik
mengenai etos kerja Kobe Bryant. Saat timnas basket Amerika melakukan
persiapan untuk bertanding di Olimpiade 2012, ia pernah dibangunkan Kobe
pada pukul empat pagi untuk membantunya latihan. Sebelum pukul lima
pagi, ia sampai ke tempat latihan dan melihat Kobe sudah mandi keringat,
seolah ia baru saja berenang. Setelah membantu Kobe, Robert kemudian
kembali ke hotel. Dan saat ia kembali ke tempat latihan sekitar jam
sebelas pagi, Kobe ternyata masih berada di tempat latihan: dari jam
tujuh sampai jam sebelas itu, Kobe melakukan 800 kali
jump shot. Setelah itu, baru Kobe berlatih bersama rekan satu timnya.
Selain menghasilkan prestasi, kerja keras Kobe tersebut membuatnya bisa
bertahan di NBA hingga ia berusia 37 tahun. Saat itu, pada musim
2015-2016, Lakers memang tampil berantakan; mereka jadi juru kunci di
Wilayah Barat. Meski begitu, Kobe masih mampu bermain dalam 66
pertandingan. Hebatnya, di pertandingan terakhirnya, melawan Utah Jazz,
Kobe masih mampu mencetak 60 angka.
Ichiro Suzuki adalah Bisbol
Di Jepang, turnamen bisbol nasional tingkat SMU barangkali dianggap
sebagai puncak karier para pemain bisbol. Bagaimana tidak, turnamen itu
begitu populer, bahkan mengalahkan liga bisbol profesional. Selain
diliput secara besar-besaran, turnamen tersebut juga disiarkan oleh
stasiun televisi nasional, NHK.
Untuk itu, dalam bukunya yang berjudul
The Meaning of Ichiro: The New Wave from Japan and the Transformation of Our National Past Time, Robert Whitting pernah menulis, “Di Jepang, bisbol tingkat SMU hampir seperti agama.”
Meski begitu, bagi Ichiro Suzuki, turnamen bisbol antar SMU bukanlah
segalanya. Ia mencintai bisbol lebih dari sekadar turnamen yang diadakan
dua kali dalam satu tahun, melebihi MLB [liga bisbol profesional
Amerika], bahkan melebihi apa pun. Karenanya, saat salah seorang
wartawan dari Miami menanyakan tentang rencananya setelah pensiun dari
bisbol pada tahun 2017 lalu, ia menjawab, “Saya pikir, saya akan mati.”
Sewaktu Ichiro kecil, ayah Ichiro pernah meramalkan bahwa Ichiro akan
menjadi seorang atlet besar. Seiring berjalannya waktu, ramalan ayah
Ichiro tersebut ternyata menjadi kenyataan: ia tidak hanya menembus
batas-batas kehebatan pemain Jepang yang di MLB, tetapi juga mampu
membuat orang-orang yang mencintai bisbol juga menghormatinya. Ichiro
bermain untuk Seattle Mariners, juga New York Yankees, dan Miami
Marlins.
Dalam tulisannya di
Player Tribune, Derek Jeter, peraih lima gelar
Word Series, memuji Ichiro setinggi langit. Pada tahun 2016 lalu, Eric Nusbaum, dalam salah satu tulisannya di
Vice Sport, menulis judul
Ichiro Suzuki and the Dignity of Work untuk menggambarkan etos kerja Ichiro. Berkarier di MLB sejak 2001, Ichiro juga berpeluang besar menjadi anggota
Hall of Fame.
Yang menarik, Ichiro sepertinya tak peduli dengan semua pujian itu.
Meski sudah berusia 44 tahun, ia hanya ingin terus bermain bisbol. Dan
apa yang dilakukannya bersama Seattle Mariners bisa menjadi contoh.
Mariners mencoret Ichiro dari daftar pemainnya di MLB 2018,
menjadikannya sebagai asisten spesial pemilik klub. Namun, Mariners
tidak menutup kemungkinan untuk kembali mengandalkan Ichiro. Dari situ,
meski tidak dapat bermain, Ichiro memilih tetap ikut latihan,
menggunakan seragam saat timnya bertanding, juga melakukan pemanasan di
dalam pertandingan.
“Saat saya mulai berjalan menggunakan
tongkat, saya mungkin baru akan berpikir untuk pensiun,“ kata Ichiro,
mengenai pilihannya itu.
Menjadi jelas bahwa usia benar-benar
tidak bisa menghalangi Ichiro untuk terus menjaga hal yang benar-benar
penting di dalam kehidupannya.