Tampilkan postingan dengan label #stopkonsumerisme. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label #stopkonsumerisme. Tampilkan semua postingan

Selasa, 01 Januari 2019

Bagaimana Mengenali Produk Investasi?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan lalu, Tim Media Sosial CNBC Indonesia mendapat banyak pertanyaan dari warganet melalui akun instragram @cnbcindonesia terkait cara memilih produk investasi dan mengenal risikonya. Melalui artikel ini, Tim Riset CNBC Indonesia coba menjawab pertanyaan-pertanyaan warganet tersebut.

Pertanyaan interaktif ini diharapkan bisa memberikan dasar-dasar pemahaman bagi investor pemula untuk mulai berinvestasi. Selain itu, CNBC Indonesia akan membuat diskusi interaktif melalui akun instragram untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari warganet.

Pada dasarnya, ada dua jenis utama produk investasi. Pertama adalah di sektor riil, dan yang kedua adalah sektor keuangan.

Di sektor riil, investasi dapat berupa properti, emas, barang seni dan antik, serta penyertaan modal langsung di perusahaan atau usaha tertentu.

Di sektor keuangan, produk investasinya biasa dinamakan surat berharga pasar modal (efek, yang berupa reksa dana, saham, dan obligasi), deposito, dan kontrak berjangka (futures).


Apa saja perbedaan kedua kelompok investasi tersebut? Untuk mengenal lebih jauh perbedaan tipe-tipenya, berikut risiko dan keuntungan dari masing-masing jenis investasi tersebut.

Investasi di Sektor Riil

1. Untuk berinvestasi biasanya membutuhkan modal yang tidak sedikit. Emas misalnya, Anda dapat membeli emas Logam Mulia (LM) koinan ukuran gram yang saat ini satu gramnya berada di kisaran harga Rp 650.000. Saat ini tersedia bentuk emas sederhana ukuran 1 gram-500 gram, emas batik, dan emas tematik lain. Mereka juga menyediakan perak.

Emas dan perak LM tersebut dapat dibeli di gerai-gerai milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang dapat Anda lihat di situs perusahaan. Untuk properti, setidaknya Anda butuh Rp 100 juta jika ingin memiliki lahan kosong yang ukurannya cukup ekonomis untuk dijual kembali, atau Rp 250 juta jika ingin membeli rumah atau ruko atau apartemen kecil yang dapat disewakan atau dijual kembali guna meraih cuan atau jika ada kebutuhan. Belum lagi harga benda-benda antik atau koleksi yang biasanya ratusan juta bahkan miliaran.

2. Untuk menjual kembali investasi Anda maka ada usaha yang harus dilakukan dan prosesnya tidak bisa cepat untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Contoh sederhana adalah untuk menjual emas koinan atau batangan LM, tentu kita harus melewati proses menuju ke toko emas atau ke gerai Antam untuk menjual emas tersebut.

Misalnya, untuk menjual rumah, prosesnya biasanya memakan waktu bulanan atau bahkan tahunan untuk mendapatkan harga yang cukup tinggi sesuai harga pasar saat itu.

Jika kita terburu-buru karena sedang butuh, maka harganya dapat ditekan oleh calon pembeli yang saat itu daya tawarnya lebih besar. Namun, proses memiliki barang secara riil untuk berinvestasi merupakan sebuah keunggulan utama dibandingkan dengan produk investasi keuangan.

3. Penjualan kembali produk investasi sektor riil biasanya juga tidak bisa dipecah. Misalnya emas, tentu nilainya harus sesuai dengan seonggok aset yang kita punya, tidak bisa dibelah jika kita hanya butuh separuh nilainya.

Sama juga dengan properti. Untuk rumah yang kisaran harga pasarnya Rp 500 juta, tidak mungkin Anda menjual satu kamar saja karena kebutuhan uang saat itu hanya Rp 100 juta.

4. Jika kita membeli barang nyata untuk nantinya dijual kembali, tentu ada risiko hilang akibat berbagai hal, baik yang bisa diminimalisir atau yang di luar kendali kita sebagai investor.

5. Untuk investasi di sebuah bisnis, risiko dasar berinvestasinya adalah risiko bangkrut. Risiko tersebut bisa muncul dari oknum, sistem kerja, kelalaian, dan kondisi pasar/lingkungan yang tidak mendukung. Namun, jika risiko bangkrut tersebut dapat dibalikkan, tentu hasil bisnis tersebut akan menjadi yang paling besar dibanding investasi jenis lainnya.

Investasi di Sektor Keuangan

1.
Risiko dari unsur penggelapannya lebih besar dibandingkan dengan investasi di sektor riil karena aset yang kita beli biasanya sudah tidak berbentuk surat (scripless). Tanpa mengetahui detail tentang bentuk dan skema investasinya, maka tidak sedikit masyarakat yang terjebak iming-iming keuntungan besar dari skema investasi yang kurang jeli dimaknai.

Perlu pemahaman mendalam atau dicontohkan oleh orang dekat untuk mengenali skemanya agar menambah keyakinan dalam berinvestasi. Cek kembali identitas dan izin yang dimiliki perusahaan atau lembaga pengawasnya.

2. Fluktuasi dari pasar keuangan relatif tinggi, terutama untuk investasi di pasar saham dan futures/forex. Keuntungan bisa berlipat-lipat, tetapi jangan lupakan risiko juga bisa lebih berlipat lagi.

Perhatikan fasilitas-fasilitas pinjaman yang langsung diberikan tanpa pemberitahuan detail. Jangan manfaatkan dulu fasilitas pinjaman transaksi, dan gunakan dana kas dulu untuk memulai berinvestasi. Pahami dulu cara main-nya, baru tancap gas seiring dengan bertambahnya pemahaman.

3. Minimal investasi yang relatif kecil, bisa dimulai dari Rp 5.000 untuk saham, Rp 10.000 untuk investasi reksa dana, Rp 40.000 untuk reksa dana yang dapat ditransaksikan di bursa (exchange traded fund/ETF), Rp 1 juta untuk obligasi negara ritel (ORI), sukuk ritel (sukri), obligasi tabungan ritel (saving bond retail/SBR).
Bagaimana mengenali produk investasi? 
Foto: Infografis/Instrumen Investasi/Edward Ricardo

Kesimpulan:

1.
Minimal pembelian yang kecil (mulai dari Rp 10.000) dan kemudahan bertransaksi melalui fasilitas online sektor keuangan dapat menjadi pintu awal untuk berinvestasi.

2. Hasil investasi di sektor riil, sebanding dengan potensi dan risikonya, tentu lebih besar dibandingkan dengan investasi di sektor keuangan. Ingat prinsip awal berinvestasi, High Risk = High Return.

3. Jangan percaya iming-iming keuntungan yang berlipat. Semakin menggiurkan biasanya akan semakin tidak masuk akal.

4. Diversifikasikan produk investasi Anda sesuai dengan horizon dan tujuan investasi Anda masing-masing.
Jadi, apa Anda masih menunggu lagi untuk berinvestasi?


TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/hps)



#2019GantiGayaHidup #ubahcarapandang  #gayahidupproduktif, #produkinvestasi #stopkonsumerisme

Minggu, 13 Mei 2018

Konsumerisme, Budaya Manusia atau Sekadar Gejala?

Seiring perkembangan kehidupan setiap manusia pastilah mengalami perubahan-perubahan dan perubahan sudah terjadi sejak jaman dahulu kala. Sampai-sampai banyaknya perubahan yang ada, manusia juga kadang kala juga kerepotan menghadapinya. 
Perubahan dengan maksudnya yaitu proses perubahan masyarakat berserta dengan kebudayaan dari hal-hal yang bersifat tradisional ke modern atau istilahnya disebut modernisasi. Namun, globalisasi pun juga salah satu faktor mempengaruhi juga, karena penyeragaman budaya bagi seluruh masyarakat dunia.
Globalisasi muncul karena adanya arus informasi dan komunikasi secara online. Sehingga dapat menjangkau semua masyarakat. Akibatnya, manusia yang ada di dunia ini seolah-olah saling berdekatan dan menjadi satu sistem pergaulan dan budaya yang sama. Akan menimbulkan, ketidaksiapan manusia dalam menghadapi perubahan sosial yang terjadi di lingkungan sekitar dan adanya problem sosial.
Dengan begitu, akan menimbulkan salah satu yaitu konsumerisme. Sedikit asal usul konsumerisme, konsumerisme dilatar belakangi oleh munculnya masa kapitalisme yang diusung oleh Karl Marx yang kemudian disusul liberialisme. Sehingga konsumerisme merupakan jantung dari kapitalisme. 
Kapitalisme global mulai berkembang pesat, segera setelah ‘Perang Dingin’ yang berakhir tahun 1980-an. Hal-hal tersebut merupakan  pemicu utama berkembangnya kapitalisme global atau globalisasi ekonomi yang diawali dengan pertemuan GATT di Maroko.
Konsumerisme yaitu paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok yang menjalankan suatu proses konsumsi barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya dan dilakukan secara sadar dan berkelanjutan.  
Bagi masyarakat yang belum siap atau kaget dengan adanya perubahan-perubahan maka akan timbul goncangan dalam kehidupan sosial dan budaya. Akibatnya, individu menjadi tertinggal atau bisa frustasi. Selain itu, kondisi dapat menimbulkan suatu keadaan dan menjadi tidak serasi dalam kehidupan masyarakat.
Lalu, pertanyaannya konsumerisme budaya atau gejala? Konsumerisme merupakan budaya, karena manusia pada dasarnya konsumtif. Konsumtif yaitu bersifat konsumsi (hanya memakai, tidak menghasilkan sendiri). Tanpa sadar konsumtif akan menjadikan sebagai penyakit jiwa dalam kehidupannya.
Lebih memudahkan akan diberikan contoh, yaitu adanya besar-besaran diskon dan promo mulai dari produk makanan atau minuman, otomotif, telekomunikasi, dan lain-lain. 
Segala macam yang ditawarkan yang diberikan sangat menggiurkan tentunya, mengakibatkan manusia menjadi pecandu dari suatu produk, akibatnya ia akan ketergantungan dan tidak dapat atau sudah dihilangkan. Selain itu, ada juga setiap tindakan pembelian yang dilakukan oleh manusia suatu produk sebenarnya tidak butuh, melainkan hanya memberikan kepuasan bagi dirinya.
Mengapa sampai saat ini budaya konsumerisme masih ada? karena materialistis, mementingkan konsumsi barang, mengglobalnya supermarket, minimarket, mall, dan lain-lain, serta berperannya media massa seperti surat kabar, tv (televisi), majalah yang dapat dan mampu menciptakan serta menyebarkan dengan kesan tanpa henti. 
Apalagi juga didukung dengan iklan yang berkembang pada masyarakat yang menjadikan oran tidak berpikir secara rasional terhadap kebuthan tetapi hanya berdasarkan penerimaan pengkodean yang telah terframe dalam pikiran yang diungkapkan sebagai budaya yang ada dalam masyarakat.
Selain itu juga adanya faktor-faktor yang mempengaruhi pola konsumsi. Pertama, konsumen individu biasanya melakukan pemilihan merk atau brand  yang dipengaruhi meliputi kebutuhan konsumen, peresepsi atas karakteristik merk, sikap ke ara pilihan, demografi konsumen, dan gaya hidup dan karateristik personalia (berhubungan orang atau nama orang). 
Kedua, pengaruh lingkungan yang meliputi budaya (kemasyarakatan, norma, kesukuan), kelas sosial (keluasan grup sosial ekonomi atas harta milik konsumen), grup tata muka (anggota keluarga, teman), dan faktor penentu yang situasional (situasi dimana produk dibeli seperti keluar yang menggunakan mobil dan kalangan usaha). 
Ketiga, pengaruh iklan yang meliputi mempengaruhi konsumen, harga yang menonjol, distribusi yang mendorong konsumen dalam proses pengambilan keputusan, dan barang yang menarik.
Dampak konsumerisme juga dirasakan betul oleh individu, dampak tersebut terbagi menjadi dua yaitu positif dan negatif. Dampak positif, yaitu kebutuhan pribadi terpenuhi, dapat meningkatkan pendapatan nasional dan dapat meningkatkan orang untuk giat berusaha . 
Sedangkan dampak negatif yaitu bersikap individual, bersikap pamer sehingga menimbulkan perilaku sombong, hidup boros, orang tersebut akan mencari kesenangan dan kepuasan hidup serta menimbulkan rasa tidak puas karena selalu ingi memiliki sesuatu yang baru.
Maka dari itu, gejala perubahan sosial dalam hal ini globalisasi budaya masyarakat cenderung ke arah yang negatif, salah satunya timbulnya konsumerisme. Sebenarnya budaya konsumerisme menguntukan para pemilik modal dan memanfaatkan masyarakat hanya sebagai obyek saja. 
Sebagai generasi penerus bangsa seharusnya mempunyai pikiran kritis untuk menyadari dan menentang budaya tersebut karena dampak negatif dan merugikan bagi setiap individu, serta jangan sampai kita sebagai pendukung dan mengembangkan budaya hal tersebut

Investasi Jangka Panjang

Menanamkan dana untuk investasi merupakan pilihan yang tepat untuk masa depan. Pilihan investasi jangka panjang bisa menjadi pilihan...