Tampilkan postingan dengan label stop konsumerisme. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label stop konsumerisme. Tampilkan semua postingan

Minggu, 10 Februari 2019

Perbedaan Gaya Hidup dan Biaya Hidup

TIMESINDONESIA, JAKARTAGaya hidup dan biaya hidup sekilas terdengar sama padahal memiliki arti yang sangat jauh berbeda. Biaya hidup adalah kebutuhan yang bisa dibilang sangat penting dan harus dipenuhi saat ini atau bisa juga kebutuhan mendesak, seperti makan, kesehatan, pakaian, tempat tinggal dan kendaraan.

Meskipun dibilang demikian, biaya hidup dipilih berdasarkan kebutuhan dan fungsinya, seperti rumah berfungsi sebagai tempat tinggal. Ya, tempat tinggal yang cukup untuk bernaung, kendaraan yang cukup untuk mengantarkan kita kemanapun kita ingin pergi.

Berbeda dengan biaya hidup, gaya hidup adalah kebutuhan yang tidak mendesak dan hanya diperuntukkan untuk orang yang memiliki penghasilan lebih. Seperti rumah mewah yang memiliki tingkat 2 meskipun hanya diisi oleh 3 orang, dan mobil mewah meskipun hanya untuk seorang diri saja.

Jika kita pikirkan dengan seksama, sebenarnya biaya hidup kita sangat murah sekali, karena hanya mencukupi kebutuhan kita tanpa muluk-muluk memilih barang yang mahal untuk gaya hidup yang mewah.

Gaya hidup harus disesuaikan dengan penghasilan kita agar tidak berdampak buruk untuk ke depannya. Oleh karena itu, kita harus lebih cermat dalam memilih kehidupan. Yang harus diutamakan tetaplah biaya hidup terlebih dahulu.

Pentingnya Disiplin Alokasi Aset      

Sembilan orang terkaya dan berkuasa di dunia pada saat itu mengadakan pertemuan di Hotel 
Edgewater Beach di Chicago pada tahun 1932.
Charles Schwab: Pemimpin Perusahaan Baja Terbesar
Samuel Insull: Presiden Perusahaan Jasa Public Terbesar Di Dunia
Howard Hopson: Pemimpin Perusahaan Gas Terbesar
Leon Frazier: Presiden Bank of International Settlements
Ivar Kreuger: Presiden International Match Co.
Richrad Whitney: Presiden New York Stock Exchange
Albert Fall: Anggota Kabinet Presiden Harding
Arthur Cotton: Spekulator Saham Terbesar
Jesse Livermore: Spekulator Saham Terbesar

Waktu berlalu. Dua puluh lima tahun setelah pertemuan mereka, fakta mengejutkan dan menyedihkan terjadi kepada mereka.

Charles Schwab: Meninggal tanpa uang sepersen pun setelah hidup selama 5 tahun dengan uang pinjaman.
Samuel Insull: Meninggal tanpa uang di tanah asing.
Howard Hopson: Sakit jiwa
Leon Frazier: Mati bunuh diri
Ivar Kreuger: Meninggal tanpa uang
Richrad Whitney: Baru bebas dari penjara
Albert Fall: Baru bebas dari penjara
Arthur Cotton: Meninggal tanpa uang
Jesse Livermore: Mati bunuh diri

Mengapa hal ini bisa terjadi pada orang terkaya sekalipun? Jawabannya adalah pengelolaan keuangan.

Tentunya ada banyak alasan yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Tetapi faktor terbesar disebabkan ketidakpastian mereka dalam mengantisipasi keadaan yang terjadi. Setiap orang perlu mengalokasikan ke pos-pos keuangan di bawah ini. Berapa pun pendapatan Anda setiap bulannya 

Anda harus mengalokasikan ke dalam enam pos yang berbeda. 

Berikut enam pos penting untuk kesehatan finansial Anda.
Suatu misal Anda bekerja dan tiap bulan Anda mendapatkan gaji sebesar Rp 10.000.000, maka inilah yang perlu Anda lakukan. Jumlah uang dapat Anda sesuaikan dengan besar pemasukan Anda.

Alokasi Aset:
1. 10% : Sedekah/ Amal/ Sumbangan
2. 10% : Investasikan ke tempat yang aman
3. 10% : Pendidikan
4. 10% : Cadangan
5. 10% : Alokasi Kesenangan
6. 50% : Biaya Hidup

• 10% : Gunakan Rp 1.000.000,- untuk Sedekah/ Amal/ Sumbangan

Dalam pemahaman agama, sedekah justru akan malah menyehatkan dan menyejahterakan kita. Banyak mentor dan guru agama yang menjelaskan manfaat sedekah ini. Hal ini untuk membantu 

Anda agar tidak menjadi budak uang dan terikat dengan uang.


• 10% : gunakan RP. 1.000.000,- untuk investasi ke tempat yang aman

Uang inilah yang akan berkembang dan membantu menyejahterakan Anda. Anda harus rutin menginvestasikan uang ini. Bisa dalam bentuk Deposito, Unit Link, Saham, Surat Berharga, Mata Uang Asing, dan Instrumen Pasar Modal lainnya.
Telitilah dulu apakah investasi Anda terpercaya. Semakin banyak uang yang Anda investasikan, semakin banyak passive income yang Anda dapatkan.

• 10% : gunakan RP. 1.000.000,- untuk pendidikan

Pendidikan yang kami maksud bukan berarti Anda harus sekolah lagi atau kuliah lagi. Uang tersebut Anda investasikan untuk mendapatkan ilmu yang baru. Ilmu dapat diperoleh dari buku berkualitas, seminar, membeli CD/DVD, dan mengikuti pelatihan.

Zaman terus berubah. Pikiran kita belum tentu berubah. Inilah manfaat ilmu pengetahuan bagi kita. Sedikit uang Anda akan kembali berkali-kali lipat dengan ilmu yang Anda dapatkan.

• 10% : gunakan RP. 1.000.000,- untuk dana cadangan

Banyak contoh di sekitar kita terjadi hal-hal yang tidak terduga misalkan kecelakaan, sakit, motor/ mobil rusak, dsb. Alangkah baiknya Anda memiliki dana cadangan untuk masalah. Akan sangat lebih baik jika beban ini Anda tanggungkan kepada perusahaan asuransi. 

• 10% : gunakan RP. 1.000.000,- untuk having fun

Bekerja terus menerus tanpa menggunakannya sama sekali akan menimbulkan dampak psikologis yang kurang baik. Menikmati jerih payah Anda sebanyak 10% ini sangat baik untuk memanjakan diri Anda sendiri. Pergilah berbelanja. Ajak keluarga untuk jalan-jalan. Makanlah di restoran yang enak. 

Anda harus melakukannya.

• 50% : gunakan RP. 5.000.000,- untuk biaya hidup

Cukup tidak cukup harus cukup. Begitulah nasihat dari inspirator sukses no. 1 di Indonesia ini. Anda dapat belajar menghemat. Manakah yang dapat dihemat dari beberapa jenis pengeluaran ini.
Jika Anda terbiasa naik mobil, cobalah naik angkutan umum. Jika Anda selalu membeli sayur untuk memasak, cobalah menanam sayur sendiri di pekarangan rumah. Pilihlah alternatif yang termurah asalkan tidak mengurangi fungsinya.

“Satu lagi saran saya, untuk membeli barang konsumtif, hindarkan dompet Anda dari kata ‘kredit’ dan ‘ngutang’. Hal ini benar-benar akan mencekik leher Anda. Bergaya hiduplah sederhana seperti yang dinasihatkan orang terkaya no. 3 di dunia, Warren Buffet.

Angka di atas adalah contoh jika penghasilan Anda Rp. 10.000.000,- jika penghasilan Anda lebih, tinggal masukan angka rupiahnya saja. Dengan menggunakan konsep ini, Anda lebih mudah dan terarah dalam memantau dan mengalokasikan uang Anda.

“Dengan begini, Anda tidak akan mengalami krisis keuangan yang dapat menimbulkan pertengkaran suami-istri. Atau jika Anda masih lajang, Anda sudah belajar bagaimana mengatur keuangan dengan lebih baik,’’ tuturnya.

Anda harus benar-benar jeli membedakan gaya hidup dengan biaya hidup. Jangan sampai hanya karena memenuhi gaya hidup, keuangan Anda jadi berantakan. (*)

#2019GantiGayaHidup #ubahcarapandang  #gayahidupproduktif, stop konsumerisme, Gaya Hidup dan Biaya Hidup


Kamis, 06 Desember 2018

Minimalisme, Gaya Hidup Bebas Konsumerisme

Minimalisme, Gaya Hidup Bebas Konsumerisme

By Intan Kirana / 08 December 2017 

Selain makhluk sosial, manusia juga dikenal sebagai homo economicus alias makhluk ekonomi. Selain menginginkan keuntungan sebesar-besarnya dengan hasil sekecil-kecilnya, sebagai makhluk ekonomi, manusia juga enggak ada puasnya. Satu keinginan tercapai, masih ada sederet kemauan lain. Yah, kayak lagunya Doraemon, “Ingin ini, ingin itu, banyak sekali.”

Seorang filsuf asal Perancis, Jean Baudrillard, pernah menyinggung hal ini lewat buku yang berjudul La SociƩte de Consommation. Dia bilang, manusia selalu menginginkan banyak hal, padahal mereka udah punya semua hal yang dibutuhin. Keinginan yang enggak ada habisnya ini bikin manusia tergoda mengonsumsi banyak hal.

Seiring dengan perkembangan zaman, informasi mengenai barang-barang yang merupakan wujud keinginan manusia makin mewarnai keseharian. Lantas, kta pun jadi menilai suatu barang enggak sekadar dari nilai gunanya, tapi juga nilai simbolik dan nilai tanda dari barang tersebut. Misalnya, tas bermerek jadi penanda kelas sosial yang tinggi.

Pada suatu titik, banyak orang menyadari keinginan yang tak terbatas ini justru berujung pada kesia-siaan. Selain banyak uang yang udah kita habisin, hunian kita pun jadi sumpek terlalu banyak barang di dalamnya. Kita mau buang, tapi jadi ragu karena barangnya masih bagus. Kita mau simpan, udah enggak ada ruang lagi. Belum lagi, kita enggak benar-benar punya waktu buat menyortir barang dan mempertahankan yang benar-benar dipakai.

Akhirnya, segelintir orang ini menjalankan sebuah gaya hidup yang disebut dengan minimalisme. Kasarnya, gaya hidup ini diterapkan oleh orang-orang yang enggak mau lagi diperbudak konsumerisme. Lebih lanjutnya, lo simak terus, ya. Siapa tahu lo terinspirasi menjalankan gaya hidup ini.

Hidup Minimalis ala Falsafah Zen:Minim Barang, Minim Tekanan


Viki pernah membahas kehidupan praktis dua warga negara Jepang yang terinspirasi dari falsafah Zen. Fumio Sasaki, seseorang di antaranya, hanya memiliki empat pasang celana, tiga baju, dan empat pasang kaus kaki dalam lemarinya. Sementara itu, barang-barang di rumahnya hanya berjumlah 150 buah. Cowok yang berprofesi sebagai penulis ini enggak berniat membeli banyak barang karena menurutnya apa yang dia punya udah bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sasaki menceritakan bahwa sebelumnya dia pernah punya banyak obsesi terhadap barang. Dia selalu membeli banyak hal dan menumpuknya karena enggak semuanya dia pakai langsung. Dia juga membanding-bandingkan apa yang dia miliki dengan orang lain. Akhirnya, dia jadi banyak pikiran dan dilanda stres. Dia juga enggak fokus karena apartemennya selalu berantakan.

Menyadari bahwa hal ini udah enggak baik secara fisik dan psikis, dia memutuskan buat berubah. Dia mulai memilah barang-barang yang merupakan keinginan dan kebutuhannya. Setelah dia membuang banyak barang yang enggak benar-benar diperlukan, hidupnya jadi lebih bahagia. Dia pun jadi bisa menilai orang lain dengan lebih bijak, bukan cuma dari materi yang mereka miliki. Hidupnya kini lebih tenang, lebih damai, dan lebih bahagia.

Enggak cuma Sasaki, Katsuya Toyoda, seorang editor, juga menganut gaya hidup ini. Menurutnya, gaya hidup minimalis ini bikin dia jadi memiliki sudut pandang lain dalam memaknai hidup. Dia lebih bisa memahami hal-hal yang membahagiakan dia.

Sementara itu, Naoki Numahata, seorang penulis lepas, menganalogikan gaya hidup minimalis dengan upacara minum teh khas Jepang. Tempat yang digunakan dalam ritual tersebut biasanya lapang, enggak memuat banyak barang. Namun, imajinasi membuat ruangan itu jadi komplet.
Dilansir dari National Geographic, gaya hidup minimalis ini sangat diminati, khususnya di Jepang. Bukan cuma karena bikin hidup jadi lebih mudah dan tenang, gaya hidup ini juga mempermudah proses penyelamatan diri saat gempa. Seperti yang lo tahu, Jepang adalah negara yang rawan gempa. Bayangin aja kalau lo hidup dalam rumah yang penuh sesak saat gempa. Sebelum bisa melarikan diri, mungkin lo udah ketindihan barang-barang duluan. Ngeri banget, ‘kan?

Minimalis dalam Berpenampilan


Gaya hidup minimalis ini enggak cuma bisa diterapkan dalam hal penataan rumah. Banyak orang mempraktikkannya juga dalam penampilan sehari-hari lewat pakaian. Inilah yang dilakuin para pesohor seperti Steve Jobs, Mark Zuckerberg, dan Barrack Obama.
Lo bisa lihat bahwa gaya berpakaian mereka sama aja dari hari ke hari. Jobs dengan sweater turtle-neck hitamnya, Zuckerberg dengan kaus oblongnya, dan Obama dengan setelan jas hitamnya. Uniknya, kesederhanaan ini jadi karakter tersendiri bagi mereka.

Dalam wawancara dengan Vanity Fair, Obama pernah menjelaskan preferensi busananya ini. Menurut dia, sebagai orang nomor satu di Amerika Serikat pada masa itu, dia harus menyimpan konsentrasinya buat hal-hal yang lebih penting. Dia pun mengeliminasi pikiran-pikiran yang enggak berfaedah, seperti apa yang harus dikenakannya setiap hari.
Apa yang dikatakan Obama ini ada benarnya. Soalnya, kalau lo terlalu memusingkan penampilan, lo bakal mengesampingkan hal-hal yang lebih penting. Makanya, orang-orang yang bisa memusatkan perhatian dan pikiran mereka pada pekerjaan dan mimpi-mimpi mereka bisa jadi sukses. Mereka enggak mikirin bagaimana caranya terlihat keren di depan orang lain.

Menyimak Indahnya Gaya Hidup Minimalis lewat Film


Tadi udah disebutin bahwa minimalisme banyak diterapin di Jepang. Nyatanya, gaya hidup ini udah dipraktikin oleh banyak orang di negara lain, loh, misalnya Amerika Serikat yang notabene adalah negara maju. Kisah-kisah mereka ini bisa lo lihat dalam serial dokumenter karya Matt D'Avella berjudul Minimalism: A Documentary About the Important Things yang dirilis pada 2015.
Dalam film ini, diceritakan betapa minimalisme—enggak menginginkan dan membeli terlalu banyak barang—bisa mengubah kehidupan pelakunya. Mereka enggak lagi merasa kekurangan karena udah bisa memprioritaskan kebutuhan alih-alih keinginan. Lebih penting lagi, mereka enggak lagi dirundung depresi akibat terlalu mementingkan citra lewat kepemilikan barang-barang serta gaya hidup tertentu.
Salah satu yang jadi sorotan dalam serial ini adalah duo penulis dan kreator film bernama Joshua Fields Millburn serta Ryan Nicodemus. Mereka memulai kehidupan minimalis pada 2010. Dilansir Dayton City Paper, sejak saat itu, mereka jadi lebih positif dalam segala aspek kehidupan, baik dari segi hubungan maupun kesehatan.

Tantangan Mengeliminasi Keinginan


Perlu diingat, apa yang dilakukan para pelaku gaya hidup ini enggak mudah. Apalagi di tengah gempuran berbagai informasi dari berbagai media dan mudahnya mengakses kehidupan orang lain lewat media sosial. Kayak yang udah dibahas di awal, dua hal ini mendorong banyak orang meladeni hasrat memiliki dan mengonsumsi barang-barang tertentu yang sebenarnya bukan kebutuhannya. Ini adalah tantangan paling berat, apalagi kalau udah bicara soal hobi.

Kalau lo tertarik mempraktikkan minimalisme, coba, deh, biasain diri buat enggak langsung tergoda ngelihat iklan barang-barang baru dan enggak gampang iri sama apa yang dimiliki oleh orang lain. Kalau udah berhasil, bisa aja hidup lo jadi lebih praktis dan lo bisa lebih bahagia. Pola pikir lo pun perlahan bakal berubah, dari yang tadinya begitu memuja materi jadi lebih bijak. Lo juga bakal bisa menilai banyak hal dari segala sisi.

Intinya, lo mesti mempertimbangkan kembali buat memenuhi apa yang benar-benar kita butuhkan dan enggak sekadar memiliki barang cuma karena menginginkan citra baik dari orang lain. Berhentilah membeli sesuatu cuma karena biar terlihat keren. Konsumsi itu penting, tapi jangan sampai menjadikan lo manusia yang diperbudak sama konsumerisme.

Sebagai manusia yang punya kemampuan lebih dalam berpikir dan memetakan masalah, lo mesti bisa kontrol diri lo sendiri. Nurutin keinginan memang enggak ada salahnya. Namun, keinginan itu enggak akan ada habisnya kalau lo ikutin semua, apalagi kalau secara kompulsif. Coba, deh, praktikin gaya hidup minimalis sedikit demi sedikit. Pasti ada yang berubah dalam kehidupan lo.


 #2019GantiGayaHidup #ubahcarapandang  #gayahidupproduktif, Stop Konsumerisme

Senin, 03 Desember 2018

Konsumerisme, Budaya Manusia atau Sekadar Gejala?

Seiring perkembangan kehidupan setiap manusia pastilah mengalami perubahan-perubahan dan perubahan sudah terjadi sejak jaman dahulu kala. Sampai-sampai banyaknya perubahan yang ada, manusia juga kadang kala juga kerepotan menghadapinya. 

Perubahan dengan maksudnya yaitu proses perubahan masyarakat berserta dengan kebudayaan dari hal-hal yang bersifat tradisional ke modern atau istilahnya disebut modernisasi. Namun, globalisasi pun juga salah satu faktor mempengaruhi juga, karena penyeragaman budaya bagi seluruh masyarakat dunia.

Globalisasi muncul karena adanya arus informasi dan komunikasi secara online. Sehingga dapat menjangkau semua masyarakat. Akibatnya, manusia yang ada di dunia ini seolah-olah saling berdekatan dan menjadi satu sistem pergaulan dan budaya yang sama. Akan menimbulkan, ketidaksiapan manusia dalam menghadapi perubahan sosial yang terjadi di lingkungan sekitar dan adanya problem sosial.

Dengan begitu, akan menimbulkan salah satu yaitu konsumerisme. Sedikit asal usul konsumerisme, konsumerisme dilatar belakangi oleh munculnya masa kapitalisme yang diusung oleh Karl Marx yang kemudian disusul liberialisme. Sehingga konsumerisme merupakan jantung dari kapitalisme. 
Kapitalisme global mulai berkembang pesat, segera setelah ‘Perang Dingin’ yang berakhir tahun 1980-an. Hal-hal tersebut merupakan  pemicu utama berkembangnya kapitalisme global atau globalisasi ekonomi yang diawali dengan pertemuan GATT di Maroko.

Konsumerisme yaitu paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok yang menjalankan suatu proses konsumsi barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya dan dilakukan secara sadar dan berkelanjutan.  

Bagi masyarakat yang belum siap atau kaget dengan adanya perubahan-perubahan maka akan timbul goncangan dalam kehidupan sosial dan budaya. Akibatnya, individu menjadi tertinggal atau bisa frustasi. Selain itu, kondisi dapat menimbulkan suatu keadaan dan menjadi tidak serasi dalam kehidupan masyarakat.

Lalu, pertanyaannya konsumerisme budaya atau gejala? Konsumerisme merupakan budaya, karena manusia pada dasarnya konsumtif. Konsumtif yaitu bersifat konsumsi (hanya memakai, tidak menghasilkan sendiri). Tanpa sadar konsumtif akan menjadikan sebagai penyakit jiwa dalam kehidupannya.

Lebih memudahkan akan diberikan contoh, yaitu adanya besar-besaran diskon dan promo mulai dari produk makanan atau minuman, otomotif, telekomunikasi, dan lain-lain. 

Segala macam yang ditawarkan yang diberikan sangat menggiurkan tentunya, mengakibatkan manusia menjadi pecandu dari suatu produk, akibatnya ia akan ketergantungan dan tidak dapat atau sudah dihilangkan. Selain itu, ada juga setiap tindakan pembelian yang dilakukan oleh manusia suatu produk sebenarnya tidak butuh, melainkan hanya memberikan kepuasan bagi dirinya.

Mengapa sampai saat ini budaya konsumerisme masih ada? karena materialistis, mementingkan konsumsi barang, mengglobalnya supermarket, minimarket, mall, dan lain-lain, serta berperannya media massa seperti surat kabar, tv (televisi), majalah yang dapat dan mampu menciptakan serta menyebarkan dengan kesan tanpa henti. 

Apalagi juga didukung dengan iklan yang berkembang pada masyarakat yang menjadikan oran tidak berpikir secara rasional terhadap kebuthan tetapi hanya berdasarkan penerimaan pengkodean yang telah terframe dalam pikiran yang diungkapkan sebagai budaya yang ada dalam masyarakat.
Selain itu juga adanya faktor-faktor yang mempengaruhi pola konsumsi.  

Pertama, konsumen individu biasanya melakukan pemilihan merk atau brand  yang dipengaruhi meliputi kebutuhan konsumen, peresepsi atas karakteristik merk, sikap ke ara pilihan, demografi konsumen, dan gaya hidup dan karateristik personalia (berhubungan orang atau nama orang). 

Kedua, pengaruh lingkungan yang meliputi budaya (kemasyarakatan, norma, kesukuan), kelas sosial (keluasan grup sosial ekonomi atas harta milik konsumen), grup tata muka (anggota keluarga, teman), dan faktor penentu yang situasional (situasi dimana produk dibeli seperti keluar yang menggunakan mobil dan kalangan usaha). 

Ketiga, pengaruh iklan yang meliputi mempengaruhi konsumen, harga yang menonjol, distribusi yang mendorong konsumen dalam proses pengambilan keputusan, dan barang yang menarik.
Dampak konsumerisme juga dirasakan betul oleh individu, dampak tersebut terbagi menjadi dua yaitu positif dan negatif. Dampak positif, yaitu kebutuhan pribadi terpenuhi, dapat meningkatkan pendapatan nasional dan dapat meningkatkan orang untuk giat berusaha . 

Sedangkan dampak negatif yaitu bersikap individual, bersikap pamer sehingga menimbulkan perilaku sombong, hidup boros, orang tersebut akan mencari kesenangan dan kepuasan hidup serta menimbulkan rasa tidak puas karena selalu ingi memiliki sesuatu yang baru.

Maka dari itu, gejala perubahan sosial dalam hal ini globalisasi budaya masyarakat cenderung ke arah yang negatif, salah satunya timbulnya konsumerisme. Sebenarnya budaya konsumerisme menguntukan para pemilik modal dan memanfaatkan masyarakat hanya sebagai obyek saja. 
Sebagai generasi penerus bangsa seharusnya mempunyai pikiran kritis untuk menyadari dan menentang budaya tersebut karena dampak negatif dan merugikan bagi setiap individu, serta jangan sampai kita sebagai pendukung dan mengembangkan budaya hal tersebut.


 #2019GantiGayaHidup #ubahcarapandang  #gayahidupproduktif, stop konsumerisme

Investasi Jangka Panjang

Menanamkan dana untuk investasi merupakan pilihan yang tepat untuk masa depan. Pilihan investasi jangka panjang bisa menjadi pilihan...