Kamis, 06 Desember 2018

Minimalisme, Gaya Hidup Bebas Konsumerisme

Minimalisme, Gaya Hidup Bebas Konsumerisme

By Intan Kirana / 08 December 2017 

Selain makhluk sosial, manusia juga dikenal sebagai homo economicus alias makhluk ekonomi. Selain menginginkan keuntungan sebesar-besarnya dengan hasil sekecil-kecilnya, sebagai makhluk ekonomi, manusia juga enggak ada puasnya. Satu keinginan tercapai, masih ada sederet kemauan lain. Yah, kayak lagunya Doraemon, “Ingin ini, ingin itu, banyak sekali.”

Seorang filsuf asal Perancis, Jean Baudrillard, pernah menyinggung hal ini lewat buku yang berjudul La SociƩte de Consommation. Dia bilang, manusia selalu menginginkan banyak hal, padahal mereka udah punya semua hal yang dibutuhin. Keinginan yang enggak ada habisnya ini bikin manusia tergoda mengonsumsi banyak hal.

Seiring dengan perkembangan zaman, informasi mengenai barang-barang yang merupakan wujud keinginan manusia makin mewarnai keseharian. Lantas, kta pun jadi menilai suatu barang enggak sekadar dari nilai gunanya, tapi juga nilai simbolik dan nilai tanda dari barang tersebut. Misalnya, tas bermerek jadi penanda kelas sosial yang tinggi.

Pada suatu titik, banyak orang menyadari keinginan yang tak terbatas ini justru berujung pada kesia-siaan. Selain banyak uang yang udah kita habisin, hunian kita pun jadi sumpek terlalu banyak barang di dalamnya. Kita mau buang, tapi jadi ragu karena barangnya masih bagus. Kita mau simpan, udah enggak ada ruang lagi. Belum lagi, kita enggak benar-benar punya waktu buat menyortir barang dan mempertahankan yang benar-benar dipakai.

Akhirnya, segelintir orang ini menjalankan sebuah gaya hidup yang disebut dengan minimalisme. Kasarnya, gaya hidup ini diterapkan oleh orang-orang yang enggak mau lagi diperbudak konsumerisme. Lebih lanjutnya, lo simak terus, ya. Siapa tahu lo terinspirasi menjalankan gaya hidup ini.

Hidup Minimalis ala Falsafah Zen:Minim Barang, Minim Tekanan


Viki pernah membahas kehidupan praktis dua warga negara Jepang yang terinspirasi dari falsafah Zen. Fumio Sasaki, seseorang di antaranya, hanya memiliki empat pasang celana, tiga baju, dan empat pasang kaus kaki dalam lemarinya. Sementara itu, barang-barang di rumahnya hanya berjumlah 150 buah. Cowok yang berprofesi sebagai penulis ini enggak berniat membeli banyak barang karena menurutnya apa yang dia punya udah bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sasaki menceritakan bahwa sebelumnya dia pernah punya banyak obsesi terhadap barang. Dia selalu membeli banyak hal dan menumpuknya karena enggak semuanya dia pakai langsung. Dia juga membanding-bandingkan apa yang dia miliki dengan orang lain. Akhirnya, dia jadi banyak pikiran dan dilanda stres. Dia juga enggak fokus karena apartemennya selalu berantakan.

Menyadari bahwa hal ini udah enggak baik secara fisik dan psikis, dia memutuskan buat berubah. Dia mulai memilah barang-barang yang merupakan keinginan dan kebutuhannya. Setelah dia membuang banyak barang yang enggak benar-benar diperlukan, hidupnya jadi lebih bahagia. Dia pun jadi bisa menilai orang lain dengan lebih bijak, bukan cuma dari materi yang mereka miliki. Hidupnya kini lebih tenang, lebih damai, dan lebih bahagia.

Enggak cuma Sasaki, Katsuya Toyoda, seorang editor, juga menganut gaya hidup ini. Menurutnya, gaya hidup minimalis ini bikin dia jadi memiliki sudut pandang lain dalam memaknai hidup. Dia lebih bisa memahami hal-hal yang membahagiakan dia.

Sementara itu, Naoki Numahata, seorang penulis lepas, menganalogikan gaya hidup minimalis dengan upacara minum teh khas Jepang. Tempat yang digunakan dalam ritual tersebut biasanya lapang, enggak memuat banyak barang. Namun, imajinasi membuat ruangan itu jadi komplet.
Dilansir dari National Geographic, gaya hidup minimalis ini sangat diminati, khususnya di Jepang. Bukan cuma karena bikin hidup jadi lebih mudah dan tenang, gaya hidup ini juga mempermudah proses penyelamatan diri saat gempa. Seperti yang lo tahu, Jepang adalah negara yang rawan gempa. Bayangin aja kalau lo hidup dalam rumah yang penuh sesak saat gempa. Sebelum bisa melarikan diri, mungkin lo udah ketindihan barang-barang duluan. Ngeri banget, ‘kan?

Minimalis dalam Berpenampilan


Gaya hidup minimalis ini enggak cuma bisa diterapkan dalam hal penataan rumah. Banyak orang mempraktikkannya juga dalam penampilan sehari-hari lewat pakaian. Inilah yang dilakuin para pesohor seperti Steve Jobs, Mark Zuckerberg, dan Barrack Obama.
Lo bisa lihat bahwa gaya berpakaian mereka sama aja dari hari ke hari. Jobs dengan sweater turtle-neck hitamnya, Zuckerberg dengan kaus oblongnya, dan Obama dengan setelan jas hitamnya. Uniknya, kesederhanaan ini jadi karakter tersendiri bagi mereka.

Dalam wawancara dengan Vanity Fair, Obama pernah menjelaskan preferensi busananya ini. Menurut dia, sebagai orang nomor satu di Amerika Serikat pada masa itu, dia harus menyimpan konsentrasinya buat hal-hal yang lebih penting. Dia pun mengeliminasi pikiran-pikiran yang enggak berfaedah, seperti apa yang harus dikenakannya setiap hari.
Apa yang dikatakan Obama ini ada benarnya. Soalnya, kalau lo terlalu memusingkan penampilan, lo bakal mengesampingkan hal-hal yang lebih penting. Makanya, orang-orang yang bisa memusatkan perhatian dan pikiran mereka pada pekerjaan dan mimpi-mimpi mereka bisa jadi sukses. Mereka enggak mikirin bagaimana caranya terlihat keren di depan orang lain.

Menyimak Indahnya Gaya Hidup Minimalis lewat Film


Tadi udah disebutin bahwa minimalisme banyak diterapin di Jepang. Nyatanya, gaya hidup ini udah dipraktikin oleh banyak orang di negara lain, loh, misalnya Amerika Serikat yang notabene adalah negara maju. Kisah-kisah mereka ini bisa lo lihat dalam serial dokumenter karya Matt D'Avella berjudul Minimalism: A Documentary About the Important Things yang dirilis pada 2015.
Dalam film ini, diceritakan betapa minimalisme—enggak menginginkan dan membeli terlalu banyak barang—bisa mengubah kehidupan pelakunya. Mereka enggak lagi merasa kekurangan karena udah bisa memprioritaskan kebutuhan alih-alih keinginan. Lebih penting lagi, mereka enggak lagi dirundung depresi akibat terlalu mementingkan citra lewat kepemilikan barang-barang serta gaya hidup tertentu.
Salah satu yang jadi sorotan dalam serial ini adalah duo penulis dan kreator film bernama Joshua Fields Millburn serta Ryan Nicodemus. Mereka memulai kehidupan minimalis pada 2010. Dilansir Dayton City Paper, sejak saat itu, mereka jadi lebih positif dalam segala aspek kehidupan, baik dari segi hubungan maupun kesehatan.

Tantangan Mengeliminasi Keinginan


Perlu diingat, apa yang dilakukan para pelaku gaya hidup ini enggak mudah. Apalagi di tengah gempuran berbagai informasi dari berbagai media dan mudahnya mengakses kehidupan orang lain lewat media sosial. Kayak yang udah dibahas di awal, dua hal ini mendorong banyak orang meladeni hasrat memiliki dan mengonsumsi barang-barang tertentu yang sebenarnya bukan kebutuhannya. Ini adalah tantangan paling berat, apalagi kalau udah bicara soal hobi.

Kalau lo tertarik mempraktikkan minimalisme, coba, deh, biasain diri buat enggak langsung tergoda ngelihat iklan barang-barang baru dan enggak gampang iri sama apa yang dimiliki oleh orang lain. Kalau udah berhasil, bisa aja hidup lo jadi lebih praktis dan lo bisa lebih bahagia. Pola pikir lo pun perlahan bakal berubah, dari yang tadinya begitu memuja materi jadi lebih bijak. Lo juga bakal bisa menilai banyak hal dari segala sisi.

Intinya, lo mesti mempertimbangkan kembali buat memenuhi apa yang benar-benar kita butuhkan dan enggak sekadar memiliki barang cuma karena menginginkan citra baik dari orang lain. Berhentilah membeli sesuatu cuma karena biar terlihat keren. Konsumsi itu penting, tapi jangan sampai menjadikan lo manusia yang diperbudak sama konsumerisme.

Sebagai manusia yang punya kemampuan lebih dalam berpikir dan memetakan masalah, lo mesti bisa kontrol diri lo sendiri. Nurutin keinginan memang enggak ada salahnya. Namun, keinginan itu enggak akan ada habisnya kalau lo ikutin semua, apalagi kalau secara kompulsif. Coba, deh, praktikin gaya hidup minimalis sedikit demi sedikit. Pasti ada yang berubah dalam kehidupan lo.


 #2019GantiGayaHidup #ubahcarapandang  #gayahidupproduktif, Stop Konsumerisme

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Investasi Jangka Panjang

Menanamkan dana untuk investasi merupakan pilihan yang tepat untuk masa depan. Pilihan investasi jangka panjang bisa menjadi pilihan...