Minimalisme, Gaya Hidup Bebas Konsumerisme
Selain makhluk sosial, manusia juga dikenal sebagai homo economicus
alias makhluk ekonomi. Selain menginginkan keuntungan sebesar-besarnya
dengan hasil sekecil-kecilnya, sebagai makhluk ekonomi, manusia juga
enggak ada puasnya. Satu keinginan tercapai, masih ada sederet kemauan
lain. Yah, kayak lagunya Doraemon, “Ingin ini, ingin itu, banyak
sekali.”
Seorang filsuf asal Perancis, Jean Baudrillard, pernah menyinggung hal ini lewat buku yang berjudul La SociƩte de Consommation.
Dia bilang, manusia selalu menginginkan banyak hal, padahal mereka udah
punya semua hal yang dibutuhin. Keinginan yang enggak ada habisnya ini
bikin manusia tergoda mengonsumsi banyak hal.
Seiring
dengan perkembangan zaman, informasi mengenai barang-barang yang
merupakan wujud keinginan manusia makin mewarnai keseharian. Lantas, kta
pun jadi menilai suatu barang enggak sekadar dari nilai gunanya, tapi
juga nilai simbolik dan nilai tanda dari barang tersebut. Misalnya, tas
bermerek jadi penanda kelas sosial yang tinggi.
Pada suatu titik,
banyak orang menyadari keinginan yang tak terbatas ini justru berujung
pada kesia-siaan. Selain banyak uang yang udah kita habisin, hunian kita
pun jadi sumpek terlalu banyak barang di dalamnya. Kita mau buang, tapi
jadi ragu karena barangnya masih bagus. Kita mau simpan, udah enggak
ada ruang lagi. Belum lagi, kita enggak benar-benar punya waktu buat
menyortir barang dan mempertahankan yang benar-benar dipakai.
Akhirnya,
segelintir orang ini menjalankan sebuah gaya hidup yang disebut dengan
minimalisme. Kasarnya, gaya hidup ini diterapkan oleh orang-orang yang
enggak mau lagi diperbudak konsumerisme. Lebih lanjutnya, lo simak terus, ya. Siapa tahu lo terinspirasi menjalankan gaya hidup ini.
Hidup Minimalis ala Falsafah Zen:Minim Barang, Minim Tekanan
Viki pernah membahas kehidupan praktis dua warga negara Jepang yang terinspirasi dari falsafah Zen.
Fumio Sasaki, seseorang di antaranya, hanya memiliki empat pasang
celana, tiga baju, dan empat pasang kaus kaki dalam lemarinya. Sementara
itu, barang-barang di rumahnya hanya berjumlah 150 buah. Cowok yang
berprofesi sebagai penulis ini enggak berniat membeli banyak barang
karena menurutnya apa yang dia punya udah bisa memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Sasaki menceritakan bahwa sebelumnya dia pernah punya
banyak obsesi terhadap barang. Dia selalu membeli banyak hal dan
menumpuknya karena enggak semuanya dia pakai langsung. Dia juga
membanding-bandingkan apa yang dia miliki dengan orang lain. Akhirnya,
dia jadi banyak pikiran dan dilanda stres. Dia juga enggak fokus karena
apartemennya selalu berantakan.
Menyadari
bahwa hal ini udah enggak baik secara fisik dan psikis, dia memutuskan
buat berubah. Dia mulai memilah barang-barang yang merupakan keinginan
dan kebutuhannya. Setelah dia membuang banyak barang yang enggak
benar-benar diperlukan, hidupnya jadi lebih bahagia. Dia pun jadi bisa
menilai orang lain dengan lebih bijak, bukan cuma dari materi yang
mereka miliki. Hidupnya kini lebih tenang, lebih damai, dan lebih
bahagia.
Enggak cuma Sasaki, Katsuya Toyoda, seorang editor, juga
menganut gaya hidup ini. Menurutnya, gaya hidup minimalis ini bikin dia
jadi memiliki sudut pandang lain dalam memaknai hidup. Dia lebih bisa
memahami hal-hal yang membahagiakan dia.
Sementara
itu, Naoki Numahata, seorang penulis lepas, menganalogikan gaya hidup
minimalis dengan upacara minum teh khas Jepang. Tempat yang digunakan
dalam ritual tersebut biasanya lapang, enggak memuat banyak barang.
Namun, imajinasi membuat ruangan itu jadi komplet.
Dilansir dari National Geographic,
gaya hidup minimalis ini sangat diminati, khususnya di Jepang. Bukan
cuma karena bikin hidup jadi lebih mudah dan tenang, gaya hidup ini juga
mempermudah proses penyelamatan diri saat gempa. Seperti yang lo tahu,
Jepang adalah negara yang rawan gempa. Bayangin aja kalau lo hidup dalam
rumah yang penuh sesak saat gempa. Sebelum bisa melarikan diri, mungkin
lo udah ketindihan barang-barang duluan. Ngeri banget, ‘kan?
Minimalis dalam Berpenampilan
Gaya
hidup minimalis ini enggak cuma bisa diterapkan dalam hal penataan
rumah. Banyak orang mempraktikkannya juga dalam penampilan sehari-hari
lewat pakaian. Inilah yang dilakuin para pesohor seperti Steve Jobs,
Mark Zuckerberg, dan Barrack Obama.
Lo bisa lihat bahwa gaya berpakaian mereka sama aja dari hari ke hari. Jobs dengan sweater turtle-neck
hitamnya, Zuckerberg dengan kaus oblongnya, dan Obama dengan setelan
jas hitamnya. Uniknya, kesederhanaan ini jadi karakter tersendiri bagi
mereka.
Dalam wawancara dengan Vanity Fair,
Obama pernah menjelaskan preferensi busananya ini. Menurut dia, sebagai
orang nomor satu di Amerika Serikat pada masa itu, dia harus menyimpan
konsentrasinya buat hal-hal yang lebih penting. Dia pun mengeliminasi
pikiran-pikiran yang enggak berfaedah, seperti apa yang harus
dikenakannya setiap hari.
Apa yang dikatakan Obama ini ada
benarnya. Soalnya, kalau lo terlalu memusingkan penampilan, lo bakal
mengesampingkan hal-hal yang lebih penting. Makanya, orang-orang yang
bisa memusatkan perhatian dan pikiran mereka pada pekerjaan dan
mimpi-mimpi mereka bisa jadi sukses. Mereka enggak mikirin bagaimana
caranya terlihat keren di depan orang lain.
Menyimak Indahnya Gaya Hidup Minimalis lewat Film
Tadi
udah disebutin bahwa minimalisme banyak diterapin di Jepang. Nyatanya,
gaya hidup ini udah dipraktikin oleh banyak orang di negara lain, loh,
misalnya Amerika Serikat yang notabene adalah negara maju. Kisah-kisah
mereka ini bisa lo lihat dalam serial dokumenter karya Matt D'Avella berjudul Minimalism: A Documentary About the Important Things yang dirilis pada 2015.
Dalam
film ini, diceritakan betapa minimalisme—enggak menginginkan dan
membeli terlalu banyak barang—bisa mengubah kehidupan pelakunya. Mereka
enggak lagi merasa kekurangan karena udah bisa memprioritaskan kebutuhan
alih-alih keinginan. Lebih penting lagi, mereka enggak lagi dirundung
depresi akibat terlalu mementingkan citra lewat kepemilikan
barang-barang serta gaya hidup tertentu.
Salah
satu yang jadi sorotan dalam serial ini adalah duo penulis dan kreator
film bernama Joshua Fields Millburn serta Ryan Nicodemus. Mereka memulai
kehidupan minimalis pada 2010. Dilansir Dayton City Paper, sejak saat itu, mereka jadi lebih positif dalam segala aspek kehidupan, baik dari segi hubungan maupun kesehatan.
Tantangan Mengeliminasi Keinginan
Perlu
diingat, apa yang dilakukan para pelaku gaya hidup ini enggak mudah.
Apalagi di tengah gempuran berbagai informasi dari berbagai media dan
mudahnya mengakses kehidupan orang lain lewat media sosial. Kayak yang
udah dibahas di awal, dua hal ini mendorong banyak orang meladeni hasrat
memiliki dan mengonsumsi barang-barang tertentu yang sebenarnya bukan
kebutuhannya. Ini adalah tantangan paling berat, apalagi kalau udah
bicara soal hobi.
Kalau lo tertarik mempraktikkan minimalisme,
coba, deh, biasain diri buat enggak langsung tergoda ngelihat iklan
barang-barang baru dan enggak gampang iri sama apa yang dimiliki oleh
orang lain. Kalau udah berhasil, bisa aja hidup lo jadi lebih praktis
dan lo bisa lebih bahagia. Pola pikir lo pun perlahan bakal berubah,
dari yang tadinya begitu memuja materi jadi lebih bijak. Lo juga bakal
bisa menilai banyak hal dari segala sisi.
Intinya,
lo mesti mempertimbangkan kembali buat memenuhi apa yang benar-benar
kita butuhkan dan enggak sekadar memiliki barang cuma karena
menginginkan citra baik dari orang lain. Berhentilah membeli sesuatu
cuma karena biar terlihat keren. Konsumsi itu penting, tapi jangan
sampai menjadikan lo manusia yang diperbudak sama konsumerisme.
Sebagai
manusia yang punya kemampuan lebih dalam berpikir dan memetakan
masalah, lo mesti bisa kontrol diri lo sendiri. Nurutin keinginan memang
enggak ada salahnya. Namun, keinginan itu enggak akan ada habisnya
kalau lo ikutin semua, apalagi kalau secara kompulsif. Coba, deh,
praktikin gaya hidup minimalis sedikit demi sedikit. Pasti ada yang
berubah dalam kehidupan lo.
#2019GantiGayaHidup #ubahcarapandang #gayahidupproduktif, Stop Konsumerisme
Tidak ada komentar:
Posting Komentar