Dewasa ini model pakaian, tas, topi, sepatu atau
apa pun yang berhubungan dengan fashion
selalu berubah dan berganti model tiap bulannya, dan selalu laku, juga menjadi
rebutan para pembeli di mall-mall,
meskipun dengan harga yang setinggi langit dan kualitas yang rendah pun tak
mengapa asal barang tersebut branded.
Tempat makan dengan menu dan suasana
kebarat-baratan seperti McDonald dan Starbucks selalu dipenuhi pengunjung setiap
harinya walaupun harganya cukup mahal dibanding harga makanan tempat makanan
lokal. Semakin beragamnya gadget-gadget
yang dimiliki anak-anak kecil sampai orang dewasa, padahal penggunaannya tidak
didasari atas kelebihan dan fungsi gadget
itu sendiri, seakan takut dianggap ketinggalan zaman jika tidak membeli model
terbaru. Apakah yang sebenarnya sedang terjadi?
Fenomena yang telah dipaparkan diatas merupakan
perilaku manusia yang lazim kita lihat dewasa ini di kota besar di Indonesia, yang
disebut sebagai perilaku konsumtif. Konsumtif dapat didefinisikan sebagai suatu
aktivitas manusia dalam mengkonsumsi barang atau jasa yang secara berlebihan
atau yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Biasanya perilaku konsumtif terjadi
karena seseorang tidak bisa membedakan mana yang kebutuhan (need) dengan mana yang keinginan (want). Kebutuhan adalah sesuatu yang
harus dipenuhi manusia sebagai mahluk praksis (sebagai organisme sekaligus mahluk
sosial), seperti makanan, minuman, seks dan lain-lain sesuai konsep kebudayaan masing-masing.
Jika kebutuhan tidak terpenuhi, maka hidup manusia tidak akan sejahtera. Sedangkan
keinginan adalah plus-plus atau
tambahan setelah kebutuhan terpenuhi. Keinginan berorientasi pada rasa puas
manusia terhadap ‘sesuatu’[1]. Sedangkan keinginan dan
rasa puas manusia itu tidak ada batasnya. Perilaku konsumtif sendiri terjadi
karena keinginan telah berubah ‘seakan menjadi kebutuhan’, seolah-olah jika
tidak terpenuhi, manusia tidak akan sejahtera atau tidak ‘dianggap’ sejahtera.
Jika kita berbicara mengenai perilaku konsumtif,
sangat kurang rasanya jika tidak mengaitkannya dengan kapitalisme. Karena
menurut saya kapitalismelah yang bertanggung jawab atas aktivitas[2] manusia ini, beberapa
aktivitas telah saya papar kan di awal tulisan ini. Jadi saya akan menjelaskan
kapitalisme dulu secara sederhana dari sudut pandang Marxisme. Menurut Karl
Marx, kapitalisme adalah sebuah mode produksi atau corak produksi yang di dalamnya
terdapat kekuatan produktif berupa pabrik dan mesin-mesinnya, dan relasi
produksi yang berupa kerja upahan. Kepercayaan terhadap hak kepemilikan pribadi
sebagai sesuatu yang alamiah yang telah digariskan oleh Tuhan dalam kehidupan
manusia juga yang telah menjadi salah satu cikal bakal terciptanya mode
produksi ini. Jadi dalam mode produksi kapitalisme ada yang berperan sebagai
pemilik kekuatan produksi atau pemilik modal yang biasa disebut ‘kapitalis’,
dan ada yang berperan sebagai tenaga kerja untuk mengerjakan produksi yang
dibutuhkan kapitalis, yaitu ‘buruh atau tenaga kerja upahan’. Kelas bawah atau
buruh, mau tidak mau, harus menjual tenaganya kepada kapitalis karena mereka
tidak memiliki kekuatan produktif atau
sarana produksi untuk memproduksi segala kebutuhan hidupnya demi melanjutkan
hidupnya. Di dalam mode produksi kapitalisme, buruh bekerja memproduksi suatu
barang yang bernilai tertentu tetapi digaji atau diupah jauh dibawah nilai
harga barang yang ia produksi itu. Fakta yang penting adalah bahwa pekerja atau
buruh selalu dibayar lebih rendah daripada nilai barang yang diproduksi.[3] Ini lah salah satu
eksploitasi yang dilakukan kapitalis terhadap kelas bawah. Bahkan menurut Max
Weber, kapitalisme bukan hanya bertujuan mengejar keuntungan
sebanyak-banyaknya, tetapi keuntungan itu haruslah berkelanjutan dan ditopang
usaha perhitungan yang rasional.[4] Inilah yang membuat
kapitalisme menjadi sistem yang kuat sampai saat ini.
Menurut Karl Marx sejarah manusia adalah sejarah perjuangan
kelas. Maksudnya disini adalah bahwa setiap formasi sosial[5] di dalam masyarakat pasti
memiliki kelas[6],
ada kelas yang mendominasi dan ada juga yang subordinat/terdominasi. Kelas yang
mendominasi adalah kelas atas, sedangkan kelas yang subordinat adalah kelas
bawah. Kelas yang subordinat yang telah tersadarkan[7] akan ekploitasi ini akan berusaha
untuk merubah keadaan ini dengan revolusi, yang sebelumnya sudah terjadi banyak
perubahan sebagai prasyarat revolusi itu sendiri. Jika terjadi revolusi, maka
formasi sosial yang sedang mendominasi pasti akan runtuh dan tidak mendominasi
lagi, walaupun tidak akan langsung punah. Kapitalisme sebagai mode produksi atau
corak produksi yang sedang mendominasi dalam formasi sosial tidak mau jika
kedudukannya turun tahta seperti yang telah terjadi terhadap pendahulunya yaitu
feodalisme dan perbudakan . Oleh karena itu kapitalisme melakukan berbagai cara
untuk mempertahankan dominasinya dalam formasi sosial, salah satunya seperti
yang dikatakan Max Weber: ‘keuntungan yang berkelanjutan dan ditopang usaha perhitungan
rasional’.
Cara kapitalis untuk mempertahankan posisinya
dalam formasi sosial adalah dengan cara
menciptakan ideologi, keyakinan, dan gagasan yang terdapat didalam
institusi-institusi yang hidup di masayarakat, yang tujuannya untuk membuat masyarakat
kehilangan kesadarannya akan penghisapan yang dilakukan oleh kelas atas
(kapitalis). Kehilangan kesadaran ini sering disebut Marx dengan kesadaran
palsu. Karena kesadaran palsu inilah akhirnya warga masyarakat tidak akan sadar
akan penghisapan yang dilakukan sistem kapitalisme, dan sistem ini akan tetap
tampak superior di dalam masyarakat
yang bergaris lurus dengan tidak akan terjadinya revolusi untuk menurunkan
tahtanya di dalam formasi sosial. Karena menurut pandangan Marxis, cara kapitalis yang paling efektif
untuk menjadikan masyarakat tunduk adalah melalui pikiran mereka sendiri, yakni
gagasan dan keyakinan mereka.[8]
Ala pemerintahan Orba yang melegitimasi Anti-Komunis di negara ini.
Salah satu
contoh institusi yang melanggengkan sistem kapitalisme adalah institusi
pendidikan. Pada dasarnya tujuan hakiki institusi pendidikan seperti sekolah
dan perguruan tinggi adalah untuk memanusiakan manusia atau proses humanisasi.[9] Maksudnya, di sinilah anak
manusia diberikan pemahaman tentang hakikat kehidupannya sebagai manusia yang
ber-relasi dengan manusia lain dan juga dengan alam, dimana mereka bertopang
hidup. Tetapi kapitalisme merubah fungsi institusi ini. Sekarang sekolah dan perguruan tinggi
berfungsi untuk menciptakan lulusan siap kerja, perekerja yang akan dijadikan
budak kapitalisme untuk membantu kerja sistem ini dalam menghasilkan produk. Kenapa
harus orang sekolahan yang dijadikan pekerja? Mengutip dari tulisan Dede
Mulyanto yang berjudul Empat Cerita Ihwal Keluarga, menurutnya:
“Setidaknya,
tenaga-tenaga kerja yang memasuki pasar industrial haruslah sudah dididik
sedemikian rupa sehinggap dapat dioperasikan di pabrik-pabrik manufaktur
bermesin modern, tambang-tambang berteknologi tinggi, laboratorium canggih, dan
kantor-kantor dengan manajemen administrasi yang semuanya mengandaikan
kemampuan baca tulis dan (kini komputer).”(Mulyanto, 2014)
Institusi pendidikan bukan hanya menciptakan
lulusan siap kerja yang sangat dibutuhkan kapitalisme tetapi juga mencetak
lulusan siap konsumsi. Konsumsi disini yang dimaksud adalah konsumsi produk
kapitalis. Kenapa siap konsumsi? Karena pendidikan zaman sekarang telah membuat
orang jadi lebih ‘mengenal pasar’ (produk ciptaan kapitalis) dan ‘membutuhkannya’.
Jadi bagaimana kapitalisme tidak semakin meradang di dalam kehidupan masyarakat,
kalau institusi yang tujuan awalnya untuk memanusiakan manusia atau proses
humanisasi malah mencair bersama kapitalisme dan mencetak lulusan siap kerja
dan siap konsumsi.
Di samping kapitalisme telah menciptakan
ideologi, keyakinan, dan gagasan di dalam institusi-institusi yang
menghilangkan kesadaran masyarakat akan peghisapan yang dilakukan sistem ini,
kapitalis juga membentuk pola konsumsi dan selera masyarakat, seperti yang
sudah dikatakan sebelumnya. Ini bertujuan untuk menjual barang hasil produksi
massalnya itu. Kenapa kapitalis memproduksi barang secara massal? Ya, tujuannya
untuk menekan biaya produksi agar dapat meraup keuntungan yang besar. Oleh
karena itu kapitalis menciptakan apa
yang dinamakan oleh aliran Frankfrut dengan kebudayaan massa atau kebudayaan
populer (pop culture). Menurut para
pemikir aliran Frankfrut, kebudayaan populer adalah bentuk dari selera masyarakat
yang seragam, seperti dalam selera berpakaian, musik, desain, gaya hidup, dan
lain-lain yang semuanya sudah pasti produk kapitalis. Karena dengan selera
masyarakat yang seragam ini, kapitalis dengan mudah menjual hasil produksi
massalnya itu, untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Aliran Frankfrut menganggap kebudayaan populer
telah membuat masyarakat modern tidak memiliki budaya tinggi atau budaya elit
lagi dikarenakan semuanya telah seragam. Kebudayaan populer juga melemahkan
proses berpikir warga masyarakat dan membuatnya tidak kritis dan sadar lagi. Menurut
aliran ini, kapitalis membentuk selera masyarakat melalui peran media massa
(televisi, radio, majalah, dan lain-lain) . Karena di zaman modern seperti ini
pengaruh media massa dalam kehidupan masyarakat sangatlah besar. Jadi selera
atau pandangan hidup manusia modern pada saat ini sudah dibentuk atau di dikte melalui media massa. Selera yang
seragam ini lah yang membuat manusia modern
menjadi rasis dan mendiskriminasi, karena jika ada orang atau suatu
kelompok sosial tidak mengikuti model apa yang dipaparkan oleh media massa,
maka akan dianggap menyimpang atau tidak mengikuti yang baik yang berlaku di
masyarakat. Contohnya: ada istilah “alay”, padahal kalau ditelusuri lebih jauh
konsep “alay” ini masih rancu, misalnya: kelompok A menyebut kelompok B “alay”,
kelompok B menyebut kelompok C “alay”, kelompok C menyebut kelompok A “alay”,
dan seterusnya. Karena sebenarnya, intinya, masyarakat modern mengharapkan
keseragaman dalam selera, jadi ketika ada kelompok yang berbeda dengannya
terutama masalah ‘selera fashion’,
maka akan disebut “alay”. Sungguh ironis memang. Jadi jika kita tidak mengikuti
model dengan mengkonsusmi produk kapitalis, kita akan didiskriminasi oleh
orang-orang yang kesadarannya telah berhasil dipalsu-kan oleh kapitalis. Ya,
ini bertujuan agar makin banyak yang mengkonsumsi produk kapitalis, entah
karena sudah tertipu daya oleh kesadaran palsu ataupun hanya karena takut
didiskriminasi oleh yang telah tertipu daya itu, yang jumlahnya memang mayoritas.
Media massa seakan-akan dijadikan sebagai panutan dalam berkebudayaan. Jadi
kurang jahat apalagi kapitalisme? Sudah menyeragamkan selera, melemahkan proses
berpikir, membuat kita rasis pula.
Tapi disini saya tidak mau menelan mentah-mentah
konsep yang diberikan oleh aliran Frankfrut mengenai kebudayaan populer, yang
merupakan selera seragam masyarakat modern. Saya juga akan menggunakan konsep dari
Pierre Bourdieu, yang menurutnya tindakan/praktik seseorang atau masyarakat ditentukan
oleh habitus-nya, maksud dari habitus disini ialah sistem kecondongan
(disposisi) yang relatif langgeng yang dihasilkan oleh struktur yang membentuk
suatu kondisi kehidupan materi yang khas.[10] Menurut Bourdieu, di dalam
masyarakat terdapat kelas bawah, menengah, dan atas. Setiap kelas ini memiliki habitus yang berbeda. Jadi menurut hemat
saya, jika kita menggabungkan kosep kebudayaan populer dari aliran Frankfrut
dengan konsep habitus dari Bourdieu,
kesimpulannya: setiap kelas atau habitus
memiliki kebudayaan populernya masing-masing yang berbeda. Contoh, misalnya:
masyarakat kelas atas menyukai/mengkonsumsi musik klasik; kelas menengah
menyukai/mengkonsumsi musik pop, alternatif, dan rock; kelas bawah menyukai/
mengkonsumsi musik dangdut dan pop melayu.
Disini dapat disimpulkan bahwa dengan kelas dan
habitus yang berbeda, menciptakan selera dan tindakan sosial yang berbeda pula.
Habitus yang berbeda, menanamkan gagasan, nilai, keyakinan dan selera yang
berbeda. Ini bertujuan untuk kepentingan kapitalisme dalam mempertahankan
tatanannya. Menurut Marxis, gagasan
dan keyakinan dan nilai-nilai dominan dalam suatu masyarakat kelas (gagasan yang
paling disepakati bersama) tidaklah hadir secara kebetulan. Gagasan, keyakinan dan nilai-nilai itu
bertindak sebagai ideologi, memelihara struktur yang ada, yang tanpa ideologi
itu struktur itu akan runtuh.[11]
Yang membuat sistem kapitalis ini tetap hidup adalah karena institusinya
terbagi-bagi sehingga perhatian terhadap realitas eksploitasi pun
terpecah-pecah.[12]
Salah satu wahana paling penting dalam hal ini adalah hiburan atau kebudayaan
populer seperti yang telah disebutkan aliran Frankfrut. Hiburan dan budaya
populer ini lah yang menjadi produk yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat
dewasa ini, yang menimbulkan perilaku konsmtif.
Institusi, media massa, ideologi, keyakinan
atau apa pun yang berfungsi untuk
menanamkan nilai-nilai dalam benak kita, telah berpengaruh besar dalam
pembentukan pola perilaku kita, termasuk perilaku konsumtif. Jadi pencipta
perilaku konsumtif ini menurut saya adalah kapitalis beserta algojo-algojo-nya.
Perilaku konsumtif erat hubungannya dengan hedonisme. Hedonisme adalah
pandangan hidup yang menganggap bahwa seseorang akan menjadi bahagia dengan
mencari kesenangan sebanyak mungkin. Kesenangan dalam konteks pembahasan ini,
adalah kesenangan yang didapat dengan cara mengkonsumsi barang dan jasa. Jadi
inti dari pandangan ini adalah kesenangan adalah satu-satunya tujuan hidup
manusia. Bisa disimpulkan juga bahwa perilaku konsumtif adalah aktivitas mengkonsumsi
barang atau jasa demi mencari kesenangan semata. Tapi apakah kebahagian atau
kesenangan ada batasnya? Menurut saya tidak, kesenangan manusia tidak ada
batasnya, manusia selalu mencari yang lebih dan tak ada ujungnya, karena
didasari oleh keinginan bukan kebutuhan.
Disinilah letak keterkaitan antara perilaku konsumtif dengan budaya yang diciptakan
kapitalis. Karena kapitalisme tidak mau begitu saja tahtanya dalam formasi
sosial hancur karena adanya kesadaran kolektif diantara orang-orang yang tereksploitasi
ini, maka diciptakanlah budaya konsumtif agar setiap orang tidak sadar jika
sebenarnya mereka telah di eksploitasi, ketidaksadaran ini dikarenakan mereka
sibuk mencari kesenangan yang tidak ada ujungnya itu.
Apalagi di negara-negara dunia ketiga seperti
Indonesia ini, yang masyarakatnya masih ber-romantisme bersama raja-raja,
dewa-dewa, dan apa pun yang di ‘per-Tuhan-kan’. Negara dengan masyarakat yang
seperti ini sangat-lah rentan menjadi korban kapitalisme paling mengenaskan. Karena
dengan masuknya kapitalisme ke dalam kehidupan masyarakat yang seperti ini,
‘seakan’ telah membebaskan mereka dari kehidupan yang irasional selama ini. Mengutip
tulisan Samir Amin dalam buku John Clammer:
“…….ketika
kapitalisme berhasil membebaskan mereka dari diri mereka sendiri. Semua yang
dapat ia berikan pada mereka hanyalah ideologi yang mengalienasi, yakni “masyarakat
konsumer”, prospek “pertumbuhan” konsumsi jangka pendek tanpa merujuk pada
kebutuhan-kebutuhan riil manusia.”[13]
Jadi perilaku konsumtif dewasa ini adalah produk
rekonstruksi sosial yang telah diciptakan oleh kapitalisme untuk mempertahankan
dominasi tatanannya. Masyarakat dibuat tidak sadar akan ekploitasi yang sedang
terjadi, dan merasa sistem yang sedang berjalan di dunia yang mereka tempati sekarang
ini adalah alamiah dan sedang baik-baik saja. Bahkan buruh pun yang sebenarnya
paling tereksploitasi secara langsung telah dibuat agar tidak sadar akan
ekploitasi yang dilakukan sistem ini, dengan memberikannya jalan untuk memenuhi
hasrat konsumsi yang tinggi, dengan cara memberi bonus gaji jika mereka bekerja
dengan giat sampai-sampai setiap hari harus bekerja di pabrik. Contoh: banyak
buruh di kota-kota besar, baru beberapa bulan bekerja di pabrik, langsung
meng-kredit motor dan membeli barang-barang yang sebenarnya tidak terlalu
dibutuhkan. Ini menunjukan bahwa kelas bawah telah dibutakan ‘seakan-akan’
dimakmurkan oleh kapitalis, padahal itu bersifat hanya sementara, itu hanya
bertujuan untuk membangun etos para pekerja baru yang sedang produktif-produktifnya
untuk meluangkan seluruh waktunya untuk memproduksi barang kapitalis, yang jika
nanti tenaga mereka sudah dianggap tidak produktif mereka akan dibuang begitu
saja oleh kapitalisme seperti kacang lupa kulit. Ya, karena tak ada satu pun
kapitalis di dunia ini yang mengenal kesetian, semuanya rasional akumulasi
kapital.
Jadi kapitalisme telah menciptakan suprastruktur
didalam otak masyarakat melalui institusi dan media massa untuk kepentingan
mereka (kapitalis), agar tercipta aktivitas produksi-konsumsi yang sebenarnya
eksploitatif demi kepentingan kapitalis, yaitu meraup keuntungan
sebesar-besarnya yang berkelanjutan dan juga mempertahankan dominasinya dalam formasi
sosial di masyarakat dewasa ini.
Rengga Frinaldi
Daftar
Pustaka
Clammer,
John. 2003. Neo-Marxisme Antropologi:
Studi Ekonomi Politik dan Pembangunan.
Yogyakarta: Sadasiva.
Fakih,
Mansour. 2011. Mengembalikan Universitas dan Sekolah sebagai Lembaga Pendidikan
dari Komodifikasi ke Transformasi, dalam Mencari
Indonesia: Meninjau Masa Lalu, Menatap Masa Depan (Sebuah Tinjauan Kultural).
Sumedang: LPPMD Unpad.
Jones,
Pip. 2010. Pengantar Teori-Teori Sosial:
Dari Fungsionalisme hingga Post-modernisme. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Mulyanto,
Dede. 2010. Kapitalisme: Perspektif
Sosio-Historis. Bandung: Ultimus.
Mulyanto,
Dede. 2011. Antropologi Marx: Karl Marx
Tentang Masyarakat dan Kebudayaan. Bandung: Ultimus.
Mulyanto,
Dede. 2014. http://indoprogress.com/2014/02/empat-cerita-ihwal-keluarga/
Riawanti,
Selly. Rev.2009. Slide Mata Kuliah Teori-Teori Sosial Kontemporer: Teori
Praktik Pierre Bourdieu.
[1] Dalam
konteks pembahasan ini yaitu barang dan jasa
[2]
Yang dimaksud aktivitas disini adalah perilaku konsumtif.
[3]
Lih Pip Jones, 2010: 83
[4]
Lih Dede Mulyanto, 2010: 8
[5] Formasi
sosial bisa merujuk, paling tidak, pada dua hal, yaitu jenis-jenis masyarakat
sesuai corak produksi dominannya seperti ‘masyarakat’ feodal, ‘masyarakat’
kapitalis, dan sebagainya; dan juga bisa merujuk pada masyarakat tertentu
seperti masyarakat Inggris atau Jerman, misalnya. Tetapi, inti dari penggunaan
konsep formasi sosial untuk merujuk masyarakat menandakan bahwa dalam pemikiran
Marx, perubahan merupakan unsur utama dalam setiap masyarakat. Masyarakat
bukanlah sesuatu yang ajeg, tetapi terus menerus mengalami proses pembentukan.
(Mulyanto, 2011: 80)
[6]
Kecuali formasi sosial komunis primitif dan komunis.
[7]
Kesadaran ini disebut oleh Karl Marx dengan ‘kesadaran kolektif’.
[8] Lih
Pip Jones 2010, 86
[9] Lih
Mansour Fakih 2011, 75
[10] Selly
Riawanti, Dalam slide Mata Kuliah
Teori-Teori Sosial Kontemporer: Teori Praktik Pierre Bouedieu
[11]
Lih Pip Jones 2010, 86
[12] Ibid
88
[13]
Lih John Clammer, 2003: 225
#2019GantiGayaHidup #ubahcarapandang #gayahidupproduktif, Perilaku konsumtif