OLEH DR NUGROHO, SBM, MSI
Industri jasa keuangan Indonesia saat ini tengah disibukkan kehadiran
financial technology (Fintech), suatu gabungan antara jasa keuangan dan
kemajuan teknologi informasi (TI). Pelayanannya menggunakan sistem
online atau dalam jaringan (daring). Ada yang menyebut sumbangan fintech
terhadap PDB Indonesia saat ini mencapai 25,97 triliun rupiah. Berkat
fintech, konsumsi rumah tangga Indonesia juga didorong hingga mencapai
8,94 triliun. Kredit lewat fintech 7,64 riliun, sedangkan investasi
sektor fintech 5,69 triliun.
Layaknya fenomena bisnis baru, fintech menimbulkan pro kontra karena
manfaat dan masalah yang ditimbulkan. Banyak manfaat kehadiran fintech,
di antaranya meningkatkan inklusi keuangan. Maksudnya, cara orang yang
membutuhkan bisa mengakses jasa keuangan, terutama mendapatkan kredit
dengan cepat dan mudah.
Sektor UMKM yang sering sulit mendapat pinjaman dari perbankan
formal, sangat dibantu layanan fintech, meskipun kreditnya relatif kecil
karena dibatasi OJK. Tapi, itu sudah membantu UMKM yang kadang-kadang
memang tidak membutuhkan dana besar. Mereka juga membutuhkan prosedur
yang gampang. Banyak syarat pinjaman fintech sangat mudah. Calon debitur
cukup meng-upload e-KTP.
Kelompok lain yang diuntungkan kehadiran fintech adalah pelaku usaha
dan masyarakat daerah terpencil yang tak ada jaringan kantor bank.
Fintech membuat jasa keuangan bisa menjangkau daerah-daerah terpencil.
Ini membantu BI dan OJK meningkatkan inklusi keuangan.
Pihak lain yanag dibantu, usahawan ataupun masyarakat biasa yang tak
mau repot urusan birokrasi rumit perbankan. Bagi kaum milenial, fintech
juga pas dengan gaya hidup mereka. Selain praktik, fintech juga
menyangkut gaya hidup. Meminjam dana lewat fintech lebih bergengsi dari
bank. Sama halnya kaum milenial lebih senang berbelanja daring daripada
di mal, hanya karena pertimbangan gaya hidup.
Di samping membawa manfaat, fintech juga membawa ancaman dan masalah.
Salah satunya, akan menggusur bank-bank formal dan konvensional. Dua
dekade lalu, Bill Gates menyatakan, banking is necessary, banks are not.
“Perbankan diperlukan, tetapi bank tidak dibutuhkan.” Pendiri Microsoft
itu sudah memprediksi kehadiran virtual banking atau fintech.
Untuk menghadapinya, bank harus punya strategi. BRI, misalnya,
berencana meluncurkan kredit online. Cara lain mempermudah prosedur
pemberian kredit, khususnya UMKM. Biasanya, agunan menjadi masalah bagi
UMKM untuk mendapat kredit bank. Kerja sama dengan, misalnya, PT
Askrindo untuk menjaminkan kredit, UMKM bisa mendapat dana kredit secara
mudah. Beberapa pemerintah provinsi seperti Jawa Tengah dan Jawa Barat
menganggarkan penjaminan kredit UMKM dari APBD.
Ilegal
Masalah timbul karena praktik fintech ilegal dan curang. Di
antaranya, bunga kreditnya mencekik, penyalahgunaan data nasabah,
penagihan tanpa etika, dan tindak penipuan lain. Contoh, penipuan oleh
UN Swissindo. Dengan modus menyertakan sertifikat Bank Indonesia fiktif,
organisasi ini menjanjikan penghapusan kredit bank setelah debitur
menyerahkan sejumlah uang.
Demikian pula kasus investasi bodong oleh Koperasi Pandawa. Bermodal
iming-iming tingkat bunga simpanan yang sangat menggiurkan, ribuan orang
akhirnya terjebak sebagai korban penipuan. Kasus penipuan di sektor
jasa keuangan terjadi lewat aplikasi online sesuai dengan ciri utama
fintech.
Tekniknya pun sangat beragam.
Metode yang sering digunakan, pemberian pinjaman tanpa melihat
riwayat kredit, permintaan transfer sejumlah dana sebagai syarat
pencairan kredit, serta permintaan informasi PIN atau password rekening
perbankan. Melihat berbagai masalah tersebut pada akhir November 2018
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah memblokir 309
aplikasi dan 76 situs fintech ilegal.
Langkah ini mirip pemerintah Tiongkok. Secara historis industri
fintech mulai populer di tirai bambu setelah otoritas perbankan
mengetatkan penyaluran kredit pada 2010. Dalam laporan bertajuk “The
Rise of Fintech in China: Redefining Financial Services,” Bank DBS dan
Ernst & Young mencatat lima faktor pendorong bisnis fintech Tiongkok
berkembang. Salah satunya, porsi kredit UMKM hanya 20-25 persen dari
total pinjaman perbankan. Tak pelak kredit dari orang ke orang secara
personal atau “peer to peer” (P2P) menjadi pilihan sumber dana para
pelaku UMKM.
Masalah mulai muncul ketika terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi
Tiongkok dan pengetatan likuiditas. Pada 2016 regulator tirai bambu
menggambarkan industri ini sebagai skema Ponzi senilai 7,6 miliar dollar
AS yang menipu hingga 900.000 orang. Tercatat sekitar 80 persen dari
6.200 platform P2P lending Tiongkok telah ditutup. Lantaran diawasi
secara ketat di negeri asalnya, para pelaku kejahatan ini beralih
menyasar ke negara lain, termasuk Indonesia.
BI mengantisipasi masalah fintech telah menerbitkan peraturan Nomor
19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Isinya,
seluruh penyelenggara fintech wajib terdaftar dan diawasi BI. Jumlah
pelaku fintech sistem pembayaran resmi 45 penyelenggara. Demikian pula
OJK juga mengeluarkan peraturan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis TI. OJK mencatat penyelenggara fintech P2P
lending resmi per Oktober 2018 sebanyak 73 perusahaan.
Di samping PI dan POJK, perlu edukasi atau pembelajaran bagi
masyarakat sangat untuk menangkal masalah-masalah yang ditimbulkan
fintech. Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2016
menunjukkan, indeks inklusi keuangan Indonesia baru mencapai 67,8
persen. Artinya, masyarakat pengguna layanan jasa keuangan di Indonesia
mencapai 67,8 persen. Namun, hanya 29,7 persen yang melek keuangan.
Kesimpulannya, banyak orang yang telah memiliki akses keuangan, tidak
dibekali pemahaman produk jasa tersebut secara memadai.
BI bersama otoritas lain memang secara berkala mengedukasi
masyarakat. Namun, perlu disadari tanggung jawab edukasi bukan hanya
tugas regulator. PBI Nomor 16/1/PBI/2014 tentang Perlindungan Konsumen
Jasa Sistem Pembayaran menggarisbawahi, Penyelenggara Jasa Sistem
Pembayaran juga wajib mengedukasi masyarakat
Materi edukasi, perlu mengingatkan konsumen agar tidak menjadi korban
kejahatan fintech ilegal. Pastikan fintech tersebut terdaftar di BI
atau OJK. Apabila terkendala, rakyat dapat mengonfirmasi langsung ke
contact center, email, atau media sosial otoritas.
Masyarakat diharapkan tidak mudah tergiur penawaran yang terlalu
muluk. Konsumen harus tetap waspada menyikapi janji tingkat pengembalian
dana yang lebih tinggi dari lembaga keuangan formal pada umumnya. “Too
good to be true, it is not true.” Sesuatu yang tampak terlalu baik
biasanya menyimpan salah. Jadi, fintech baik memaksimalkan inklusi
keuangan dan kepraktisan. Cegah masalah dengan memperhatikan PBI dan
POJK .
Penulis Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip
#2019GantiGayaHidup #ubahcarapandang #gayahidupproduktif, fintech, agent of change
Disadur dari
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Investasi Jangka Panjang
Menanamkan dana untuk investasi merupakan pilihan yang tepat untuk masa depan. Pilihan investasi jangka panjang bisa menjadi pilihan...
-
Milenial terkenal dengan gaya hidup yang boros dan nggak suka menabung. Bagaimana caranya mereka bisa survive dengan gaya hidup seperti i...
-
Pandai membagi waktu sejatinya adalah skill yang harus kita miliki. Bukan cuma buat masa kini, keahlian membagi waktu dan memanfaatkanny...
-
SUKOHARJO - Revolusi industri 4.0 yang mempunyai ciri otomasi dan ekonomi digital. Perkembangan super-computer, robot, artificial intell...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar