JAKARTA. Bunyi desis panjang khas panci presto terdengar sayup-sayup
dari sebuah bangunan sederhana. Aroma bumbu rempah cukup menyengat
menyeruak seisi dapur berukuran sekitar 150 m² yang memproduksi pindang
ikan laut dan bandeng presto. Di sudut lain, tiga orang pekerja mengepak
pindang tongkol pada keranjang kecil dari bambu.
Pekerja
lainnya sibuk mencuci bahan baku ikan yang mereka pilah sesuai ukuran
dan menempatkan di keranjang−keranjang plastik, sebelum proses
perebusan. Begitulah sekelumit aktivitas rutin di dapur produksi milik
Muhtadin, yang berlokasi di Kampung Cipayung RT 05 RW 02, Kelurahan
Abadijaya, Kecamatan Sukmajaya, Depok, Jawa Barat, yang dikunjungi
KONTAN, Sabtu (24/12) lalu.
Muhtadin pria asal Tasikmalaya yang
akrab disapa Mumu Cuik ini, dikenal warga sekitar sebagai pengusaha ikan
laut yang merintis usaha dari nol. Pada awalnya Mumu hanya pedagang
ikan cuik yang mangkal di emperan pasar dan stasiun kereta pada akhir
1983, kali pertama dia menginjakkan kakinya di kota belimbing itu. Mumu
terpaksa meninggalkan kampung halaman yang luluh lantak diamuk letusan
Gunung Galunggung pada 1982.
Bencana gunung meletus membuat
ekonomi keluarganya lumpuh. Lahan pertanian tak bisa ditanam. Apalagi
orangtua Mumu hanya petani kecil. Usaha sang paman yang banyak membantu
keluarga juga terkapar. “Paman saya bandar domba. Usahanya bangkrut saat
gunung meletus,” katanya. Tak ada pilihan selain merantau ke kota
dengan harapan dapat mengubah nasib. Padahal kala itu, usia Mumu masih
sangat belia, baru 13 tahun dan baru saja tamat sekolah dasar.
Di
Depok Mumu menumpang saudara yang rutin berjualan ikan cuik. Di samping
membantu saudara berdagang, ia mengumpulkan rupiah dengan bekerja
serabutan. “Hampir selama setahun saya kerja kuli panggul di pasar,”
kenang bapak lima anak ini. Setahun kemudian, Mumu mencoba usaha sendiri
dengan mengambil ikan cuik dari pemasok. Lalu, Stasiun Depok Lama,
Pasar Depok Jaya, dan Pasar Lenteng Agung Jakarta Selatan, menjadi lapak
Mumu memungut rezeki. Ya, tanpa modal sepeser pun karena hanya
mengambil barang dan setor hasil penjualan. Dari penjualan, Mumu
mengantongi laba Rp 3.000–Rp 4.000 per hari.
Buruh pabrik
Akhir
1984, pria kelahiran 6 Maret 1968 ini berhenti berjualan ikan cuik
karena tergiur bekerja di pabrik. Tapi hitung punya hitung, gaji buruh
pabrik ternyata banyak tekor ketimbang dagang di pasar. Hanya 10 bulan
bertahan menjadi buruh pabrik dengan upah Rp 19.000 per minggu. “Saya
berpikir lebih enak dagang daripada menjadi buruh pabrik,” akunya.
Sejak
saat itu, Mumu kembali menekuni usaha jualan pindang ikan. Alhasil,
dari waktu ke waktu penjualan terus meningkat. Belum puas dengan apa
yang sudah diraih, Mumu coba-coba memproduksi sendiri bermodal Rp 4
juta. Uang tersebut digunakan untuk membeli peralatan dan belanja bahan
baku ikan sebanyak 100 kg. Produksi mandiri ia lakukan sekitar awal
1990-an. Saat itu ia berbekal ilmu meramu ikan pindang dari tukang
pindang yang dia kenal.
Sejatinya menjadi pembuat pindang dengan
keterampilan minim banyak menemui kendala. Beberapa kali hasil produksi
gagal. Ikan olahan rasanya tidak enak dan gatal saat dimakan. Misalnya
sepintas ikan hasil produksi terlihat utuh, tapi ketika dibuka daging
bagian dalamnya hancur. Usut punya usut, bahan baku ikan tersebut hasil
tangkapan dengan bom ikan atau dinamit. “Pantas saja pemerintah melarang
bom ikan selain merusak juga merugikan pembuat pindang,” terangnya.
Ketika
bisnis terus memperlihatkan kemajuan, justru ujian datang secara
tiba-tiba. Usaha yang dirintis Mumu dengan susah payah hingga memiliki
dapur ikan berkapasitas produksi lebih dari satu ton per hari, sirna
ketika datang badai krisis ekonomi 1997. Harga bahan baku ikan melonjak
tinggi, sedangkan penjualan terjun bebas. Tak pelak, modal usaha
terkikis habis.
Dalam situasi terjepit, Mumu mencoba peruntungan
lain dengan usaha kredit barang. Tapi ibarat sudah jatuh tertimpa
tangga, usaha coba-coba ini malah membuat ekonomi Mumu kian ambruk.
Modal tipis untuk kredit tidak kembali akibat banyak macet. Namun,
kejadian ini tak membuatnya patah arang. Ia berusaha bangkit dan
merintis usaha pindang dari titik bawah lagi. “Saya mulai ambil barang
dari orang, dan berdagang lagi di pasar,” tuturnya.
Setelah
melewati jungkir balik kehidupan, titik terang usaha mulai terlihat
sekitar 2000-an. Kini, kapasitas produksi stabil di angka satu ton per
hari dan bisa mempekerjakan 12 orang. Volume produksi bisa melonjak
hingga dua kali lipat saat Ramadan atau menjelang hari raya Idul Fitri,
dan Idul Adha. Produknya berupa pindang ikan tongkol, kembung, salem,
tuna, layang, dan bandeng presto. Harganya berkisar Rp 22.000 -Rp 24.000
per kg untuk memasok kebutuhan ke pasar-pasar tradisional di Depok
antara lain Pasar Agung, Pasar Musi, Pasar Kemiri, dan Pasar Pucung.
“Rata-rata omzet penjualan Rp 20 juta per hari,” bebernya.
Berhubung
usaha pindang dan bandeng presto cukup menjanjikan, Mumu siap ekspansi
dengan mendirikan dapur baru yang menyasar segmen konsumen menengah
atas.
Adapun lokasi dapur ikan di daerah Studio Alam, Sukmajaya, hasil investasi patungan. Kelak, kapasitas produksi bisa mencapai 2 ton per hari. Ia berharap produk dari dapur baru bisa menembus pasar modern.
Adapun lokasi dapur ikan di daerah Studio Alam, Sukmajaya, hasil investasi patungan. Kelak, kapasitas produksi bisa mencapai 2 ton per hari. Ia berharap produk dari dapur baru bisa menembus pasar modern.
Rencananya, tahap awal ujicoba produksi mulai Januari
2017. Bersama rekan bisnisnya, Mumu telah berinvestasi lahan dan
pengadaan tiga tempat penyimpanan berpendingin dengan kapasitas 1,4 ton,
dan peralatan lainnya. Mumu menyadari, standardisasi produk harus terus
ditingkatkan menyesuaikan tuntutan pasar. Karena itu, saat ini ia
tengah mengikuti pelbagai pembinaan dan pelatihan dari instansi terkait
agar bisa memenuhi standar kualitas. Ia pun memprioritaskan pengurusan
kemasan dan label. “Untuk masuk pasar modern, kan, syaratnya pakai
kemasan dan ada label.” katanya.
Ingin cetak sarjana
Meski
berpendidikan rendah, Mumu bisa membuktikan sukses merintis usaha
produksi pindang dan bandeng presto. Bahkan, tamatan sekolah dasar (SD)
ini bisa mempekerjakan 12 orang lulusan SMA. Memang, usaha bisa
berkembang sampai sekarang ini tidak lain berkat kegigihannya dalam
berusaha yang pantang patah arang. Kesulitan hidup yang telah dilaluinya
justru menempa Mumu, sapaan akrabnya menjadi sosok yang bermental baja.
“Sejak umur empat tahun, bapak saya sudah meninggal,” ujarnya.
Tinggal
pun di rumah kayu yang sempit hanya berpintu satu dan dua jendela,
karena kondisi ekonomi keluarga sangat sulit. Terlebih setelah bencana
gunung meletus. Akibat tidak punya biaya, ia terpaksa putus sekolah.
“Saya bukan tak mau bersekolah, tapi buat makan saja susah,” aku Mumu.
Padahal di sekolah dari kelas 1-6 SD dia selalu ranking pertama. Bahkan,
kala itu, untuk masuk ke sekolah negeri pun tak perlu tes lagi karena
nilainya sudah melebihi. “Guru saya bilang, kamu masuk SMP negeri tak
per ujian lagi,” ungkapnya.
Bagi Mumu, pendidikan sangat penting
sebagai bekal hidup agar bisa bersaing. Ia dulu tak berpendidikan pun
bisa namun berhasil berusaha karena kondisinya beda dengan sekarang.
Sebab itu, ia bertekad agar semua anak-anaknya bisa meraih gelar
sarjana. Dari lima anak, satu sudah lulus kuliah dan menikah. Anak
kedua, kuliah di Bandung. Sedangkan anak ketiga sampai kelima masih
sekolah di jenjang pendidikan dasar dan menengah.
“Walau saya
hanya tamatan SD, anak-anak minimal harus menjadi sarjana.
Alhamdulillah, sekarang kami ada rezeki sedikit, jadi pendidikan anak
menjadi prioritas utama,” ujar Mumu.
Reporter: Dadan M. Ramdan
Editor: Dadan Ramdan
Editor: Dadan Ramdan
#2019GantiGayaHidup #ubahcarapandang #yukinvestasi #investasicerdas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar