Meskipun baru memasuki separuh kedua tahun 2018, pemerintah bersiap
menghadapi tantangan ekonomi tahun depan. Demikian pesan tersirat
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati ketika membahas Kerangka Ekonomi
Makro 2019 dengan DPR. Dalam pemaparan, Menteri Keuangan menyebutkan
ada empat risiko yang dapat memengaruhi kinerja ekonomi Indonesia di
2019.
Pertama, tren preferensi konsumsi masyarakat yang lebih
memilih tabungan dan perubahan pola konsumsi, namun tidak tersalurkan
kembali ke sektor riil.Kedua, kecenderungan investor menahan rencana
investasi langsung lantaran menunggu hasil pemilu legislatif dan
presiden tahun 2019 (wait and see). Ketiga, normalisasi kebijakan
moneter Amerika Serikat (AS) dan Eropa yang berimbas pada kinerja
investasi di sektor keuangan. Keempat, dampak kebijakan proteksionisme
perdagangan AS terhadap kinerja ekspor Indonesia.
Meskipun
dihadang berbagai risiko, pemerintah tetap optimistis dan menargetkan
pertumbuhan ekonomi tahun 2019 pada kisaran 5,4%–5,8%. Sebagian kalangan
ekonom menilai target tersebut terlalu ambisius. Pemerintah mengakui,
masih sulit mencapai asumsi pertumbuhan ekonomi dalam APBN 2018 sebesar
5,4%. Di lain pihak, Bank Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi
2019 di rentang 5,2%–5,6%.
Dalam kalkulasinya, pemerintah
memperkirakan konsumsi dan investasi masih menjadi motor pertumbuhan
ekonomi. Konsumsi sebagai faktor utama akan tetap dijaga dari sisi daya
beli melalui penciptaan lapangan kerja (job creation) dan inflasi yang
rendah. Sementara itu, investasi diperkirakan akan terus meningkat
sejalan dengan perbaikan daya saing dan persepsi investor.
Mengacu
pada rilis data statistik terkini, kebijakan pemerintah dalam mendorong
konsumsi dan investasi sebenarnya masih on the track. Tingkat
pengangguran terus melandai dalam lima tahun terakhir, serta inflasi
terjaga pada level yang rendah dan stabil. Selain itu, peringkat daya
saing Indonesia di kancah internasional terus meningkat dan predikat
investment grade dapat dipertahankan.
Namun demikian, optimisme
pemerintah akan mendapat tantangan berat dari kebijakan kenaikan fed
fund rate (FFR). Harus diakui kebijakan The Fed ini telah mengubah
konfigurasi ekonomi dunia yang ditandai dengan derasnya aliran modal
keluar dari negara-negara berkembang.
Tidak menutup kemungkinan
sentimen negatif ini berpotensi terus membayangi perekonomian emerging
markets hingga dua tahun mendatang. Dalam keterangan persnya pada Juni
2018, Gubernur The Fed Jerome Powell mengindikasikan kebijakan
pengetatan moneter AS akan berlanjut dengan kenaikan FFR sebanyak tiga
kali pada tahun 2019 dan satu kali pada tahun 2020.
Kebijakan
bank sentral AS tersebut tentu akan menyulut respons serupa dari bank
sentral negara lain. Dengan kata lain, era suku bunga murah telah
berakhir dan eskalasi tingkat suku bunga adalah sebuah keniscayaan.
Inilah ekuilibrium baru ekonomi global yang tidak bisa dipungkiri.
Dalam
konteks Indonesia, kebijakan kenaikan suku bunga bank sentral turut
dipicu defisit neraca transaksi berjalan. Kondisi diperburuk dengan
fenomena perang dagang AS-Tiongkok yang akan memberikan tekanan terhadap
ekspor domestik dalam jangka menengah. Pada titik ini, otoritas moneter
perlu mengambil langkah untuk mengantisipasi agar cadangan devisa tidak
tergerus lebih dalam.
Salah satu kebijakan yang ditempuh ialah
dengan menaikkan suku bunga. Secara teori, kebijakan ini akan
berimplikasi pada surplus neraca modal sehingga dapat menutup defisit
neraca transaksi berjalan. Namun demikian, sejumlah variabel
makroekonomi dipastikan ikut terpengaruh sehingga risiko ekonomi seperti
yang dikemukakan Menteri Keuangan menjadi relevan.
Konsumsi
rumah tangga misalnya. Alih-alih berpolemik terkait isu pelemahan daya
beli, risiko stagnasi pertumbuhan konsumsi dapat dijelaskan melalui
preferensi masyarakat untuk menabung. Seiring dengan kenaikan suku bunga
simpanan dan pinjaman, terang saja konsumen lebih tertarik
mengalokasikan anggaran lebih banyak dalam bentuk simpanan di bank,
serta menahan atau menunda pengeluaran sekunder dan tersier.
Argumen
ini turut didukung oleh pola belanja konsumen kelas menengah atas yang
berkontribusi signifikan terhadap perhitungan konsumsi sektor rumah
tangga. Sebagai gambaran, Lembaga Penjamin Simpanan mencatat simpanan di
atas Rp 2 miliar menguasai 57% total simpanan di Indonesia. Kondisi ini
seakan mengonfirmasi kekhawatiran pemerintah perihal konsumsi
masyarakat yang tak tersalurkan lagi ke sektor riil.
Indikator
kinerja sektor perbankan terus menunjukkan pertumbuhan positif dana
pihak ketiga. Namun di sisi lain, trickle down effect terhadap penjualan
ritel masih belum cukup kuat. Artinya selama kelompok masyarakat ini
lebih nyaman menyimpan uang di bank ketimbang membelanjakan, nampaknya
pertumbuhan konsumsi masih belum akan beranjak jauh dari batas
psikologis 5%.
Risiko investasi
Kondisi hampir sama juga
berlaku pada variabel investasi. Perlu disadari bahwa keputusan
investasi langsung oleh pemilik modal tidak sepenuhnya bergantung pada
situasi politik pasca pemilu berlangsung. Pengalaman saat dua pemilu
terakhir tahun 2009 dan 2014 menunjukkan geliat penanaman modal dalam
negeri nyaris tidak terpengaruh. Realisasi investasi tetap tumbuh tinggi
masing-masing 86% dan 22%.
Risiko investasi langsung justru
kemungkinan akan bersumber dari tingkat suku bunga kredit bank. Mengutip
Statistik Perbankan Indonesia, rata-rata suku bunga kredit modal kerja
dan investasi per Maret 2018 sebesar 10,63% dan 10,38%.
Dengan
asumsi frekuensi kenaikan suku bunga bank mengikuti pergerakan FFR
sebanyak tujuh kali hingga akhir 2019, suku bunga kredit modal kerja dan
investasi berpeluang menyentuh level 12%–13%. Konsekuensi logisnya
investor akan mengevaluasi kembali studi kelayakan proyek sehingga
penundaan rencana investasi mungkin saja terjadi.
Dengan adanya
risiko tersebut, praktis pilihan pendanaan investasi melalui pinjaman
perbankan sepertinya belum menjadi pilihan tepat. Selain disebabkan
potensi kenaikan suku bunga kredit, likuiditas perbankan saat ini masih
ketat dengan rasio loan to deposit ratio sebesar 90%. Sebagai
alternatif, optimalisasi instrumen pasar modal merupakan strategi
terbaik untuk melakukan mitigasi risiko pendanaan investasi langsung di
masa depan.
Mencermati sejumlah risiko ke depan, pertumbuhan
ekonomi 2019 kemungkinan besar sulit untuk mendekati batas atas kisaran.
Namun, peluang tersebut masih terbuka apabila harmonisasi bauran
kebijakan fiskal dan moneter dapat berjalan dengan baik. Tatkala ruang
relaksasi suku bunga bank sentral terbatas, ekspansi kebijakan fiskal
melalui insentif pajak menjadi langkah yang patut dipertimbangkan.•
Remon Samora
Analis Bank Indonesia Provinsi Papua Barat
Analis Bank Indonesia Provinsi Papua Barat
#yukinvestasi #2019GantiGayaHidup #investasicerdas #gayahidupproduktif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar