Harianjogja.com, JOGJA--Organisasi nirlaba yang
bergerak dalam pelestarian lingkungan, Greenpeace mulai menyasar
korporasi atau perusahaan raksasa dalam upaya membangun pengurangan
plastik sekali pakai (single use plastic). Perusahaan besar memiliki
tanggung jawab untuk ikut mengubah kebiasaan masyarakat dalam
menggunakan plastik.
Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia
Muharram Atha Rasyadi mengungkapkan dengan menyasar korporasi besar,
Greenpeace bisa membuat perusahaan-perusahaan itu tahu, mereka punya
tanggung jawab untuk ikut mengubah kebiasaan masyarakat dalam
menggunakan plastik. Kendati demikian, dalam mewujudkannya, Greenpeace
tidak kemudian menempatkan diri di dalam lingkaran atau sebagai
pendamping perusahaan dalam menunjukkan tanggung jawabnya, melainkan di
luar atau sebagai pengawas.
"Kami juga bukan melihat mereka [perusahaan] itu jahat atau tidak mau berubah, tetapi kami yakin gerakan-gerakan mereka [korporasi besar] bisa dicontoh oleh yang lain. Itulah kenapa kami tidak bicara UMKM," kata dia saat bincang santai bersama sukarelawan dan wartawan, di Resto Bumbu Desa, Senin (29/4/2019).
"Kami juga bukan melihat mereka [perusahaan] itu jahat atau tidak mau berubah, tetapi kami yakin gerakan-gerakan mereka [korporasi besar] bisa dicontoh oleh yang lain. Itulah kenapa kami tidak bicara UMKM," kata dia saat bincang santai bersama sukarelawan dan wartawan, di Resto Bumbu Desa, Senin (29/4/2019).
Disinggung perihal penggunaan bahan plastik sekali
pakai yang diklaim mudah terdaur ulang oleh sejumlah perusahaan, menurut
Atha, hal itu langkah yang percuma. Kalau perusahaan tersebut tidak
bisa memastikan kalau barang-barang itu bisa dan sudah didaur ulang.
"Mengganti bahan kemasan belum menjadi solusi ideal, saya yakin itu tidak signifikan mengurangi plastik sekali pakai," kata dia.
Dikatakan Atha, sebetulnya penanganan, pengelolaan dan membangun kebiasaan mengurangi plastik sekali pakai menjadi tanggung jawab masyarakat, korporasi dan pemerintah.
Dikatakan Atha, sebetulnya penanganan, pengelolaan dan membangun kebiasaan mengurangi plastik sekali pakai menjadi tanggung jawab masyarakat, korporasi dan pemerintah.
"Kalau masyarakat tidak waspada,
konsumsi plastik akan berlebihan sehingga memunculkan dampak negatif.
Yang bisa dilakukan adalah memberikan edukasi secara perlahan untuk
mengurangi plastik sekali pakai," ujarnya.
Pemerintah perlu
menggunakan pengaruh yang dimiliki untuk membangun kesadaran masyarakat
yang dipimpin perihal pembatasan penggunaan plastik sekali pakai.
Misalnya yang dilakukan oleh pemerintah daerah di Bali, Banjarmasin,
Balikpapan dan Bogor. Mereka sudah memiliki aturan larangan penggunaan
kantong plastik sekali pakai dan bahan lain yang sukar terdaur ulang.
Menurut
Atha, ketika aturan itu diterapkan dan berlaku masif di daerah,
masyarakat akan waspada. Dari yang diawali dengan keterpaksaan, maka
perlahan akan terbiasa.
Juru kampanye Media Greenpeace Indonesia,
Ester Meryana menyebutkan Greenpeace mengampanyekan kelestarian alam
baik itu lewat gerakan di sektor kehutanan, laut, energi dan urban.
Sektor
urban memang baru disasar pada 2018 lalu, Jogja disasar menjadi salah
satu kota tujuan kampanye #breakfreefromplastic karena kota ini
berpotensi menjadi contoh bagi kota lainnya di Indonesia.
"Ada gerakan dari masyarakat yang bisa ajak pihak lain untuk mengurangi plastic. Yang perlu diketahui, permasalahan plastik di Indonesia semakin pelik. Daratan bukan hanya dibanjiri oleh sampah plastik hasil konsumsi sendiri, tetapi juga buangan dari negara lain,” jelas Mery.
"Ada gerakan dari masyarakat yang bisa ajak pihak lain untuk mengurangi plastic. Yang perlu diketahui, permasalahan plastik di Indonesia semakin pelik. Daratan bukan hanya dibanjiri oleh sampah plastik hasil konsumsi sendiri, tetapi juga buangan dari negara lain,” jelas Mery.
Laporan
terbaru yang dikeluarkan oleh GAIA atau Global Alliance for Incinerator
Alternatives berkolaborasi dengan Greenpeace Asia Timur menyebutkan
Asia Tenggara telah menjadi destinasi buangan setelah Tiongkok
mengeluarkan larangan impor sampah asing pada 2018.
"Data yang
diolah oleh Greenpeace menunjukkan ada kenaikan impor sampah plastik
oleh Indonesia. Pada 2017 sebanyak 10.000 ton per bulan dan menjadi
35.000 ton per bulan pada akhir 2018," kata dia.
Derasnya sampah
plastik impor ini sangat berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan
masyarakat di sekitar lokasi penampungan. Apalagi, hanya 9% dari total
plastik yang pernah diproduksi dapat didaur ulang. Sampah plastik banyak
yang ditumpuk atau dibakar begitu saja dan menghasilkan polutan yang
sangat berbahaya.
"Satu-satunya solusi untuk mengatasi polusi
plastik adalah memproduksi lebih sedikit plastik. Para pengguna plastik
terbesar terutama perusahaan-perusahaan barang konsumsi dan juga
jaringan supermarket, perlu mengurangi kemasan plastik sekali pakai
serta bergerak menuju sistem isi ulang dan penggunaan kembali," ujarnya.
Beruntungnya, kini di tengah masyarakat, gerakan menghindari penggunaan plastik sekali pakai semakin menjamur.
Beruntungnya, kini di tengah masyarakat, gerakan menghindari penggunaan plastik sekali pakai semakin menjamur.
Volunteer
Greenpeace Jogja Madda Aisar menyatakan sampah di wilayah pantai di DIY
tergolong mengkhawatirkan. Misalnya, saat berkegiatan di objek wisata
Pantai Pandansari, jarang terlihat ada petugas kebersihan yang sedang
membersihkan pantai. Sehingga kondisi pantai sangat kotor. Sampah bukan
hanya terlihat di pasir pantai, melainkan juga mengambang di perairan.
"Bukan
hanya bersih pantai, kami juga mengidentifikasi dan menglasifikasikan
sampah yang dijumpai, berdasarkan jenis produk dan perusahaan
produsennya," ungkapnya.
Madda mengakui apa yang dilakukan sukarelawan belum yakin pasti langsung mengubah kebiasaan masyarakat dalam menggunakan plastik. Namun yang bisa dilakukan adalah terus konsisten berkampanye dan tinggal melihat momentum yang tepat kapan kebiasaan single-use plastic itu berubah.
"Kami fokus intens pada kampanye mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, terutama lewat anak muda. Lewat diskusi dengan sejumlah komunitas, banyak anak muda yang tahu kalau ini adalah masalah, setidaknya itu membawa sprit positif," kata dia.
Madda mengakui apa yang dilakukan sukarelawan belum yakin pasti langsung mengubah kebiasaan masyarakat dalam menggunakan plastik. Namun yang bisa dilakukan adalah terus konsisten berkampanye dan tinggal melihat momentum yang tepat kapan kebiasaan single-use plastic itu berubah.
"Kami fokus intens pada kampanye mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, terutama lewat anak muda. Lewat diskusi dengan sejumlah komunitas, banyak anak muda yang tahu kalau ini adalah masalah, setidaknya itu membawa sprit positif," kata dia.
#GayaHidupProduktif #ayoinvestasi #AgentOfChange #ubahcarapandang #sccaparkost #scc #aparkost #YEP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar