Definisi
Steven Miles (2006) menyatakan bahwa konsumsi dengan konsumerisme (hyper-consumption) memiliki perbedaan. Mengutip Oxford dictionary, consumption berarti ‘membeli dan memakai suatu barang (goods)’.
Sedangkan Campbell (1995) mendefinisikan konsumsi sebagai ‘memilih,
membeli, menggunakan, merawat dan memperbaiki barang ataupun jasa.
Jika konsumsi hanya berkaitan dengan perilaku, perbuatan, maka konsumerisme memiliki cakupan yang lebih luas; suatu way of life
(Miles, 2006:4). Miles mengutip dari Bocock (1993) mendefinisikan
konsumerisme sebagai seperangkat praktik sosial, ekonomi dan budaya yang
disaijkan untuk melegitimasi kapitalisme ditengah kehidupan masyarakat.
Definisi lain dari konsumerisme dapat diambil dari Sklair (1991):
‘konsumerisme adalah suatu budaya yang mengharuskan kita membutuhkan
sebanyak mungkin barang dan jasa yang kita melakukannya bukan hanya guna
kebutuhan, namun untuk kesenangan dan kebahagiaan.’
Sedangkan Buskirk dan Rothe dalam jurnalnya tahun 1970, mendefinisikan consumerism sebagai: “The
organized efforts of consumers seeking redress, restitutions and remedy
for dissatisfaction they have accumulated in the acquisition of their
standard of living.”
Artinya: Suatu upaya terorganisir untuk menemukan kembali, mengganti
kerugian, dan mengobati ketidakpuasan yang telah diakumulasi dalam
memenuhi standar hidup masyarakat
Dari beberapa definisi diatas, dapat ditarik penjelasan bahwa
Konsumerisme adalah paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau
kelompok melakukan atau menjalankan proses konsumsi atau pemakaian
barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya
secara sadar dan berkelanjutan.
Jean Baudrillard dalam bukunya Masyarakat “Konsumsi” (1970) menjelaskan fenomena ini dengan:
“Kita lalu menjadi pemboros agung, mengonsumsi tanpa henti, rakus
dan serakah. Konsumsi yang kita lakukan justru menghasilkan
ketidakpuasan Kita menjadi teralienasi karena perilaku konsumsi kita.
Pada gilirannya ini menghasilkan kesadaran palsu. Seakan-akan terpuaskan
padahal kekurangan, seakan-akan makmur padahal miskin.”
Budaya konsumerisme terutama muncul setelah masa industrialisasi
ketika barang-barang mulai diproduksi secara massal sehingga membutuhkan
konsumen lebih luas. Media dalam hal ini menempati posisi strategis
sekaligus menentukan; yaitu sebagai medium yang menjembatani produsen
dengan masyarakat sebagai calon konsumen.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa konsumerisme sudah terjadi sejak
masa revolusi industri pertama, akhir abad 18. Ditandai dengan adanya
fasilitas produksi mekanis menggunakan mesin dan uap.
Peran Konsumsi dan Pemasaran pada Sistem Makro Ekonomi
Rumus pertumbuhan ekonomi ala Keynes yang kita pakai, di negara ini
dan sekarang, GDP= C+I+G (X-M) turut menjelaskan terjadinya konsumsi
yang tinggi. Model ini menjelaskan: Setiap kali ada Investor dan
investasi baru, maka pekerjaan bakal meningkat. Kalau banyak yang
bekerja, tingkat pendapatan total juga baik.
Kalau masyarakat pendapatannya sudah tinggi, permintaan barang
konsumen juga naik. Lalu di asumsikan ekonomi bakal tumbuh dan kekayaan
nasional meningkat. Itu cara kerja ideal ‘Trickle down Effect’ alias menetes ke bawah.
Cara mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Sederhana. Disisi lain,
bisa pula dipahami elemen konsumsi rumah tangga yang semakin tinggi maka
pertumbuhan ekonomi juga semakin tinggi.
Kalau di kritisi, instrumen penting supaya sistem ini tetap jalan;
Pemasar dan Pengiklan.! Masyarakat harus dirangsang dan diatur
permintaannya di pasar. Dengan mindset: ‘Ingin, ingin, butuh, butuh,
beli, beli, beli semua.’ Selain uang yang dibelanjakan masyarakat harus
meningkat, perilaku (tindakan) mereka harus bisa diramal.
Kalau permintaan dan daya (lebih tepatnya kemauan) beli rendah,
sistem ini gak jalan. Barang yang di produksi gak laku, investasi gak
balik modal. Pemasar dan sales lah yang mbantu sistem Keynes langgeng di
kurikulum kuliah Ekonomi. (Intisari dari buku Fritjof Chapra, 2014)
Dikutip dari website Indonesia-Investment, konsumsi rumah tangga
menyumbang sekitar 55-58 persen dari total pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Meskipun beberapa tahun terakhir terjadi perlambatan dari
konsumsi rumah tangga, namun ada kenaikan Dana Pihak Ketiga (DPK) bank,
hal ini menunjukkan konsumen memilih menghemat dana, dengan menabung.
Dari data bank dunia juga ditemukan bahwa setiap tahun ada sekitar 7
juta penduduk Indonesia yang masuk dalam kelas menengah. Kelas menengah
ini diprediksi akan terus tumbuh sampai pada tahun 2030. Tingginya
jumlah kelas menengah ini tentu menjadi peluang pasar yang sangat besar
bagi produsen lokal maupun global.
Beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia (PDB) selama
periode 2011-2015 mengalami perlambatan, disebabkan oleh: perlambatan
pertumbuhan ekonomi global, Menurunnya harga komoditas, Tingkat suku
bunga BI yang tinggi (guna menekan inflasi), Politik di Indonesia,
lemahnya konsumsi rumah tangga. (Indonesia Investment, diakses 2018)
Perkembangan Ilmu dan Praktik Pemasaran
Dari uraian diatas, dapat ditemukan bahwa pemasaran menjadi bagian
penting dari budaya konsumerisme dan konsep pertumbuhan ekonomi yang
kita anut. Pemasaran (marketing) secara sederhana merupakan
proses pengenalan produk dan jasa kepada konsumen potensial. Meliputi
aspek periklanan, hubungan publik, promosi dan penjualan. Pemasaran
mencakup proses yang lebih luas daripada penjualan.
Philip Kotler mendefinisikan pemasaran sebagai aktifitas sosial dan
sebuah pengaturan yang dilakukan oleh perorangan ataupun sekelompok
orang dengan tujuan mendapatkan keuntungan.
Sementara menurut Basu dan Hani, pemasaran adalah kegiatan
perencanaan dalam pengelolaan barang dan jasa, penetapan harga, hingga
proses produksi dan pendistribusiaanya. Dimana keseluruhan prosesnya
bertujuan memenuhi kebutuhan konsumen dan memperoleh laba.
Pemasaran muncul sebab adanya persaingan antar merek dan perusahaan.
Model pemasaran juga berkembang sesuai dengan tuntutan jamannya. Menurut
pakar pemasaran Indonesia, Hermawan Kertajaya, perkembangan tersebut
dapat dipilah dalam empat periode:
- Marketing 1.0 merupakan pemsaran yang berfokus pada produk (Product Centric Era) Pada era ini produsen membuat produk yang bagus, dimana kegiatan pemasaran diarahkan sesuain dengan kemauan produsen. Keinginan konsumen belum terlalu diperhatikan.
- Marketing 2.0 merupakan pemasaran yang berfokus pada pelanggan (Customer Centric Era). Di era ini, produsen mencari pelanggan dan mempelajari need and want Setelah itu menciptakan produknya. Kegiatan marketing diciptakan sesuai keinginan mereka. Produsen selain memperhatikan kualitas produk, juga memperhatikan keinginan pasar.
- Marketing 3.0 adalah pemasaran yang berfokus pada kemanusiaan. Produsen sangat memperhatikan produk dan pelanggan. Kegiatan pemasaran juga tidak hanya fungsional dan emosional, namun mengarah pada ranah spiritual. Produsen menyuguhkan sisi kemanusiaan, nilai universal dan tidak jarang kepedulian pada alam. Perusahaan misalnya mulai mempublikasikan kinerja kepeduliannya pada lingkungan hidup, Bursa Efek juga menampilkan perusahaan-perusahaan yang dianggap memiliki bermacam bentuk pertimbangan dalam usahanya berkaitan dengan kepedulian pada lingkungan, tata kelola perusahaan, keterlibatan masyarakat, sumber daya manusia, hak asasi manusia, dan perilaku bisnis dengan etika bisnis yang diterima di tingkat international dalam indeks SRI KEHATI.
- Marketing 4.0 merupakan pemasaran yang fokus pada kemanusiaan di era digital. Era ini produsen mengitegrasikan antara style dan substansi, dimana selain harus memiliki branding yang bagus, produsen juga harus menyediakan konten yang relevan dengan pelanggan. ( Website Republik Digital)
Berdasarkan konsep dari Kertajaya tersebut, konsumen saat ini selain harus dibentuk awareness (kepekaannya) terhadap merek, juga harus mau melakukan advokasi pada produk. Meskipun mereka tidak membeli produknya.
Kondisi ini dibentuk dengan beberapa cara, yaitu:
- Human centric marketing: Membangun brand sebagai manusia, kalau gagal menjadi manusia, pelanggan tidak tertarik. Dalam hal ini brand harus memiliki enam sifat: physicality, morality, personability, intellectuality, emotionality, dan sociability.
- Content Marketing: Merupakan cara berjualan kepada pelanggan, namun tanpa membuat pelanggan merasa dijualin. Ada dua kunci, yaitu: content creation dan conten amplification. Bagaimana membuat konten yang menarik, kemudian mendistribusikannya dengan berbagai saluran.
- Omni Channel Marketing: Mengintegrasikan antara online dan offline. Tidak cukup hanya mengandalkan salah satunya.
- Engagement marketing: mempertahankan pelanggan lewat aplikasi mobile, beri solusi lewat CRM, dan pengendalian perilaku lewat Gamifikasi.
Perkembangan Wadah Konsumerisme: Hyper-Minimart dan Online Shopping
Kita bisa memperhatikan bagaimana pusat-pusat perbelanjaan (disertai
hiburan) berkembang di kota-kota besar. Sedangkan infiltrasi minimarket
telah menjangkau pelosok-pelosok desa, bahkan di lokasi yang sinyal
telekomunikasi masih susah diperoleh.
Sebagai sebuah pasar, hypermarket tidak lagi sekedar
berfungsi sebagai arena transaksi, tetapi juga sebagai temapt
akulturasi, tempat belajar, tempat berguru, tempat mencari nilai-nilai,
tempat membangun citra diri, tempat merumuskan eksistensi diri, tempat
mencari makna kehidupan.
Tempat pertapaan (mencari ketenangan, menghilangkan stress), tempat
terapi jiwa (mencari kesenangan, kegairahan, kegembiraan), serta tempat
upacara ritual abad ke-21 –fashion show, opening ceremony, louching
ceremony). (Yasraf Amir Piliang, 2009)
Hypermarket (dan minimarket) tidak saja sebagai jalur lalu
lintas barang dan jasa, akan tetapi juga lalu lintas gaya, gaya hidup,
identitas, nilai-nilai, yang berganti dan berpindah-pindah tanpa
hentinya, layaknya nomad.
Hypermarket dalam hal ini, menjadi sebuah arena pertukaran hasrat. Di
dalamnya orang membeli kebenaran (moral, spiritual, social, kultural)
dengan harga yang murah, sementara membeli kesemuan, kepalsuan, ilusi,
halusinasi, dan ekstrimitas dengan harga yang mahal (ekstasi, citraan,
kemewahan, prestise.) (Umanailo, 2018)
Hadirnya abad 21 sebagai era informasi dan internet turut merubah
cara manusia melakukan konsumsi. Salah satunya ditandai dengan
keberadaan perusahaan marketplace seperti Bukalapak, Tokopedia,
Shopee dan sebagainya. Marketplace dan toko online tentu memiliki nilai
tambah yang semakin memudahkan manusia melakukan proses konsumsinya.
Fintech (Financial Technology) juga berperan
penting dalam meningkatkan budaya konsumsi masyarakat Indonesia, saat
ini. Fenomena ini bisa dilihat dari aplikasi Go-pay begitu sukses
menarik minat milenial, sementara layanan yang sama oleh bank
tradisional tidak? Kuncinya adalah kemudahan dan kesimpelan.
Kenapa mudah dan simpel? Karena semuanya ada di gengaman tangan milenial, yaitu di handphone. “The world is in my hand,”. Hidup milenial adalah di handphone, bukan di kartu atau di kantor cabang. (Yuswohady, 2018)
Keberadaan Fintech sangat mempengaruhi gaya hidup masyarakat.
Perpaduan antara efektivitas dan teknologi memiliki dampak
positif-negatif bagi masyarakat pada umumnya.
Fenomena Hijrah; Dagangan Baru Gaya Hidup
Dalam konteks marketing, Yuswohady (2018) mengatakan bahwa cara paling ampuh untuk memasarkan sesuatu adalah dengan menjadikannya sebagai sebuah lifestyle
yang keren. Kenapa kafe Upnormal bisa begitu sukses misalnya, bukan
dikarenakan Indomie-nya yang disulap dengan beranekaragam topping, tapi
lebih karena nongkrong di Upnormal kini sudah menjadi sebuah lifestyle yang keren.
Nah, ketika hijrah disulap menjadi sebuah lifestyle baru
yang keren, maka ia akan menjadi “alat pemasaran” yang ampuh untuk
mengajak kaum milenial lain berhijrah. Caranya bukan dengan ceramah
menggurui, tapi melalui “peer to peer influence” antar sesama milenial.
Ini menjadi gaya baru syiar Islam ala milenial, dimana menyebarkan
kebaikan Islam bukan lagi dengan penanaman nilai secara indoktrinatif,
tapi dengan menjadikan kebaikan Islam sebagai sebuah lifestyle yang
keren. Bulan november 2017 telah dilangsungkan acara Hijrah Fest di
Jakarta Convention Center (JCC).
Gaya hidup hijrah semacam ini tentu sesuatu yang sengaja di desain,
disamping keberadaan manfaat ajakan untuk berbuat baik sesuai anjuran
agama, juga menjadi ladang bisnis dan konsumsi baru bagi masyarakat.
Terutama yang terlihat pada aspek pakaian dan aksesoris pengikutnya.
Kita tentu tidak asing bahwa banyak penceramah kondang atau artis hijrah
menjadi brand ambassador dari merek-merek segmen hijrah ini.
Menjadi bermasalah jika masyarakat terutama generasi milenial
melakukan konsumsi dalam komunitas hijrah seperti ini lalu merasa
konsumsinya merupakan bagian dari anjuran agama.
Model Community-based Marketing semacam kelompok hijrah ini
tentu memberikan keuntungan bagi produsen yang mampu melihat peluang,
sebab berdasarkan suvey biaya memperkenalkan produk (brand) kepada konsumen baru 6 kali lebih besar dibandingkan merek yang telah memiliki basis konsumen.
Hadirnya kelas menengah muslim (yang kemudian bertransformasi dalam
komunitas-komunitas hijrah) ini sudah cukup lama, ditandai dengan
beberapa fenomena: booming bank syariah, Revolusi hijabers, kosmetik
muslim, biro perjalana umroh, menjamurnya hotel syariah, gairah budaya
islam berupa buku dan film, dan kepekaan pada label halal.
Produsen paham, bahwa kelas menengah muslim ini kemampuan konsumsinya
cukup tinggi, selain itu konsumsinya dilandasi satu nilai yang sama;
keinginan memperoleh kebahagiaan dunia-akhirat.
Perlawanan pada Konsumerisme
Konsumerisme yang merupakan gaya hidup dimana orang membeli barang
bukan dilandasi kebutuhan, telah banyak mendapat perlawanan. Kritik dan
gerakan tandingan terhadap konsumerisme telah banyak ditemukan.
Sebagai bagian dari kritik, misalnya Adikila (2013) menjelaskan
berbagai gaya hidup yang terlahir dari kegiatan konsumsi semakin beragam
pada masyarakat perkotaan Indonesia. Kalau dulu ada istilah yang
populer dari Descartes, yakni ”Cogito ergo Sum: Aku berpikir maka aku ada”, tetapi sekarang istilah yang populer adalah: ”I shop therefore I am: Aku berbelanja maka aku ada
Sedangkan menurut Baudrillard (1970) masalah konsumerisme ini tidak
akan dapat dipecahkan oleh peningkatan produksi, dengan inovasi kekuatan
produksi, atau dengan apa yang biasanya kita pandang sebagai
peningkatan daya beli.
“Satu-satunya solusi untuk mengatasi masalah ini terletak pada
perubahan dalam hubungan sosial dan dalam logika sosial. Kita memerlukan
suatu logika sosial yang membawa bersamanya banyak pertukaran
simbolik,”
Yang terbaru, beberapa diskursus dan gerakan yang paling mengemuka
misalnya yang dilakukan kelompok Environmentalis dan penganjur gaya
hidup minimalis.
#1 Konsumerisme vs Environmentalisme
Environmentalisme adalah keharusan budaya yang kita lakukan dengan
cara meningkatkan kepekaan terhadap lingkungan dan hal ini dilakukan
dengan menghindari konsumsi berlebihan, dimana hanya dengan cara ini
kita bisa mengurangi kerusakan lingkungan dan menciptakan kelestarian
ekologis (Milton, 1996).
Gerakan envrionmentalis memiliki kontradiksi dengan konsumeris,
dimana menurut Ritzer (1999) konsumsi berlebih telah diketahui
mendorong terjadinya kerusakan lingkungan, sedangkan perilaku yang
dikampanyekan oleh environmentalis berusaha mengurangi kemampuan
masyarakat untuk mengkonsumsi.
Kelompok environmentalis misalnya banyak ditemui mengkampanyekan
kepada masyarakat untuk tidak menggunakan plastik secara berlebih, sebab
telah diketahui dampaknya mencemari laut dan merusak ekosistemnya.
#2 Konsumerisme vs Minimalist Life
Minimalisme merupakan gaya hidup yang identik dengan pendekatan
anti-konsumerisme yang dipadukan dengan keinginan untuk mencari
kehidupan yang lebih bermakna daripada sekedar perilaku yang
berorientasi pada konsumerisme.
Prinsip utamanya adalah ‘Kurang merupakan kelebihan’ yang menjelaskan
bahwa mengkonsumsi lebih sedikit guna meraih lebih banyak aspek
non-meterial dalam hidup. Pandangan minimalis semacam itu menyediakan
instrumen yang komprehensif untuk melaksanakan pola tertentu. Minimalis
ini termasuk: kritik konsumerisme (konsumsi berlebihan); pengalihan
aspirasi pasca-materialistik (penemuan nilai nyata dalam hidup) dan
metode restrukturisasi gaya hidup lama seseorang. (Renata Dopierala,
2017)
Esensi dari gerakan minimalis adalah menjadi negasi dari pembelian
kompulsif, yang dilakukan tanpa berpikir, tanpa analisis kritis terhadap
jumlah objek yang dimiliki bersama dengan makna sosial yang dianggap
timbul dari objek tersebut. Mengutip Renata Dopierala (2017):
“Minimalisme bukanlah tujuan itu sendiri, tetapi hanya alat untuk
mengejar tujuan. (…) Jika kita ingin menjalani kehidupan yang
sederhana, bijaksana, dan harmonis, kita harus memahami nilai-nilai mana
yang penting bagi kita karena mereka menuntun kita melalui kehidupan
dan yang lainnya.”
Gerakan minimalis percaya bahwa iklan merupakan penyebab lahirnya
hasrat untuk terus mengkonsumsi. Mereka juga memberikan pernyataan: kenapa kita harus bekerja sedemikian keras hanya untuk membeli dan memiliki terlalu banyak hal.!
Penulis: Luthfi Hamd
(Disusun sebagai bahan kajian di Malang)
#GayaHidupProduktif #AgentOfChange #sccaparkost #scc #aparkost #WeCreateAgentOfChange #WCAC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar