“Muda foya-foya, tua kaya raya,
mati masuk surga”
04 Juni 2019 , 08:15
Oleh Nugroho Pratomo*
Pada masa sekitar dekade 1980-an, Jalan Melawai dan sekitarnya di
kawasan Blok M Jakarta Selatan, dikenal oleh para remaja di kala itu
sebagai salah satu daerah tempat “nongkrong” yang asyik. Banyak remaja
di masanya yang menjadikan kawasan tersebut sebagai tempat untuk
berkumpul terutama sepulang sekolah.
Wajar saja, karena pada tahun-tahun tersebut belum banyak dikenal
pusat-pusat perbelanjaan atau yang biasa disebut dengan mal di Jakarta.
Begitu terkenalnya kawasan tersebut, hingga para musisi juga menciptakan
sebuah lagu yang berjudul “Lintas Melawai” yang dinyanyikan oleh Hari
Moekti. Sebuah lagu yang menggambarkan fenomena sosial di Jakarta kala
itu.
Seiring dengan perkembangan zaman, selanjutnya, sejak pertengahan
dekade 1990-an hingga awal tahun 2000-an, kawasan Jalan Kemang di
Jakarta Selatan, dikenal sebagai salah satu kawasan wisata. Banyak kafe,
restoran, hotel, bermunculan. Karenanya pula, daerah tersebut semakin
tumbuh dan dikenal oleh banyak kalangan.
Berbeda dengan kawasan Melawai, kawasan Jalan Kemang juga banyak
dikenal oleh kalangan warga asing. Hal ini tidak mengherankan, karena di
daerah tersebut juga tidak sedikit warga asing atau para ekspatriat
yang tinggal di sekitar Kemang.
Tumbuhnya kawasan Kemang yang salah satunya ditandai oleh berjamurnya
kafe tersebut, juga menarik perhatian para eksekutif muda. Para
eksekutif muda dan para kelas menengah baru yang ketika itu mulai
merasakan euforia bekerja dan memiliki penghasilan sendiri, juga
menjadikan kawasan Kemang sebagai salah satu tempat bertemu.
Banyak dari mereka (termasuk juga penulis) ketika itu, terutama pada
saat akhir pekan, berkumpul dengan teman-teman di kafe-kafe sambil
mendengarkan musik hidup (live music). Kebetulan ketika itu
pula, telepon selular telah mulai banyak digunakan. Hal tersebut sedikit
banyak, juga mempermudah komunikasi untuk membuat janji bersua di akhir
pekan sepulang berativitas rutin di tempat kerja.
Seiring dengan perjalanan waktu, terjadi pula perubahan dalam
struktur sosial dan ekonomi di masyarakat. Hal tersebut juga diikuti
oleh perubahan gaya hidup. Semakin berkembangnya mal-mal di berbagai
kota besar, penetrasi dari sejumlah coffee shop internasional,
juga telah memaksa perubahan gaya hidup terjadi di tengah masyarakat.
Masyarakat khususnya di kota-kota besar seringkali menghabiskan waktu
luangnya untuk mengunjungi mal.
Sebagai sebuah sarana one stop service, mal memang telah
memanjakan masyarakat dengan berbagai tawaran untuk terus berkonsumsi.
Berbagai aktivitas mulai dari makan, berolahraga, menonton film dapat
dilakukan di sana. Pendeknya, mal telah menjadi gaya hidup sebagian
kelompok masyarakat, khususnya di kota-kota besar di Indonesia.
Meski demikian, hal tersebut bukan berarti bahwa tidak ada lagi
aktivitas yang dilakukan di luar mal. Seiring dengan meningkatnya
tingkat pendidikan dan pendapatan, perubahan sosial juga ditunjukkan
dengan semakin meningkatnya kesadaran atas kesehatan dan juga
lingkungan. Hal ini sejalan dengan apa yang sering digambarkan oleh
Maslow.
Perubahan sosial ini ditunjukkan dengan adanya berbagai kegiatan yang
pada akhirnya juga menuntut munculnya berbagai jenis permintaan baru.
Bentuk-bentuk permintaan baru ini bagi sebagian kelompok masyarakat
memang seringkali dilihat sebagai sebuah bentuk pemborosan. Namun pada
saat yang bersamaan, hal tersebut juga berarti peluang bisnis baru.
Tergantung pada bagaimana orang memaknainya.
Waktu luang
Berbagai kegiatan sebagaimana digambarkan tersebut, pada dasarnya bukan
hanya sekadar fenomena yang terjadi di Jakarta. Perilaku serupa juga
banyak terjadi di kota-kota lain di luar Jakarta. Pola serupa bahkan
sudah banyak terjadi di negara-negara lain. Terlebih di negara-negara
industri/ maju.
Kemunculan berbagai bentuk aktivitas seperti tersebut, pada satu sisi
seringkali dinilai memberikan dampak yang negatif. Pendapat tersebut
pada dasarnya memang cukup beralasan. Karena kebiasaan tersebut jelas
berpengaruh pada pola konsumsi orang. Orang-orang seringkali dinilai
cenderung akan lebih konsumtif, terlebih pada hal-hal yang sebenarnya
bukan merupakan kebutuhan pokok manusia.
Namun pada saat yang bersamaan, perubahan pola konsumsi tersebut juga
memberikan dampak yang negatif. Khususnya jika dilihat dari sisi
ekonomi. Perubahan pola konsumsi, pada dasarnya juga merupakan potensi
untuk terjadinya peningkatan konsumsi. Termasuk di dalamnya menciptakan
jenis konsumsi baru. Artinya, terjadinya tuntutan untuk lebih kreatif
dalam pemenuhan permintaan baru tersebut.
Dalam pandangan sosiologi ekonomi atau ekonomi institusional lama (old institutional economics),
berbagai kegiatan untuk mengisi waktu luang itulah yang pada akhirnya
melahirkan kelas menengah baru. Sebuah kelompok masyarakat yang dalam
analisis struktur sosial seringkali dinilai sebagai kelompok yang
memiliki potensi kemampuan untuk melakukan perubahan sosial di tengah
masyarakat. Namun oleh Veblen kelas menengah tersebut dinamakan “leisure class”.
Dalam karya klasiknya “The Theory of the Leisure Class”,
Thorstein Veblen menjelaskan adanya sekelompok orang yang mencoba untuk
menghabiskan waktunya dengan cara melakukan sejumlah aktivitas yang
bertujuan untuk menikmati hidupnya bersama dengan kelompoknya. Veblen
kemudian menyebutnya sebagai ‘conspicuous consumption’. Conspicuous consumption adalah kegiatan mengonsumsi sesuatu hal tanpa ada tujuan yang pasti.
Namun demikian, melakukan tindakan konsumsi tanpa tujuan tersebut
sebenarnya bukan berarti bahwa mengonsumsi tidak menimbulkan
konsekuensi. Konsekuensi itulah yang seharusnya dapat ditangkap sebagai
sebuah peluang bisnis. Dengan demikian, conspicuous consumption
justru menjadi hal yang positif dilihat dari sisi produksi. Mencermati
dari sisi produksi, maka sejumlah sektor ekonomi justru tumbuh dan
berkembang dari kondisi di saat orang-orang mengisi waktu luang
tersebut.
Perjalanan
Salah satu cara untuk mengisi waktu luang adalah dengan melakukan
perjalanan ke sejumlah tempat. Perkembangan teknologi khususnya di
bidang transportasi dan telekomunikasi, memang memungkinkan hal itu
terwujud. Terlebih berkembangnya berbagai bentuk media sosial
memungkinkan promosi objek wisata atau suatu lokasi yang unik menjadi
jauh lebih mudah dan murah. Karena kenyataan menunjukkan bahwa pemasaran
melalui instrumen media sosial, memang terbukti telah memberikan
pengaruh yang besar. Terutama untuk menarik perhatian para wisatawan.
Dalam kerangka memanfaatkan aktivitas pada waktu luang tersebut, industri perjalanan (tour & travel)
tumbuh dan berkembang. Sektor bisnis ini justru menginginkan bahwa
orang-orang memiliki waktu luang yang lebih banyak. Sehingga, waktu yang
digunakan untuk melakukan aktivitas ‘jalan-jalan’ semakin panjang.
Kuliner
Berbeda dengan industri perjalanan, industri kuliner relatif lebih memanfaatkan waktu luang atau conspicuous consumption
tersebut. Hal ini karena industri kuliner tidak terlepas dari kebutuhan
dasar manusia, yaitu makan. Hal yang dibutuhkan hanyalah kemampuan
untuk mengemasnya dalam bentuk tawaran yang lebih menarik. Dengan
demikian aktivitas yang awalnya untuk memenuhi kebutuhan dasar
(mengenyangkan diri), tidak lagi sebatas pada pemenuhan nafsu tersebut.
Salah satu caranya tentu kembali menjadikan pemenuhan kebutuhan
tersebut sebagai sebuah gaya hidup. Akibatnya seperti yang kita sering
jumpai di berbagai tempat. Aktivitas makan, saat ini seringkali menjadi
aktivitas sampingan ketimbang sebagai sebuah mekanisme pemenuhan
kebutuhan dasar.
Pada beberapa kalangan masyarakat, kegiatan tersebut justru hanya
dijadikan alasan untuk mencapai tujuan lain. Misalnya, lobi. Undangan
makan seringkali digunakan sebagai sebuah cara untuk melakukan negosiasi
bisnis. Begitu pula apabila beberapa kelompok masyarakat membuat acara
buka puasa bersama. Tujuannya jelas, lebih pada upaya untuk lebih
mempererat silaturahmi.
Industri kebugaran
Sebagaimana disampaikan sebelumnya, seiring dengan meningkatnya tingkat
pendidikan dan pendapatan masyarakat, maka terjadi pula perubahan
status sosial serta gaya hidup. Salah satu dampaknya pu;a adalah semakin
meningkatnya kesadaran tentang kesehatan. Hal tersebut pada akhirnya
juga memberikan peluang tersendiri dalam pengembangan bisnis dan sektor
ekonomi berbasis pada waktu luang.
Berkembangnya berbagai bisnis seperti fitness center,
latihan yoga dan pilates di beberapa daerah di Indonesia, khususnya di
kota-kota besar adalah salah satu indikatornya. Pada dasarnya industri
ini tumbuh dan berkembang sebagai salah satu upaya menangkap adanya
kebutuhan atas keinginan dari sejumlah kelas menengah baru di masyarakat
yang mencari tempat untuk dapat mengolah tubuh mereka.
Namun pada saat yang bersamaan, para kelas menengah baru ini juga
menginginkan tempat yang berlokasi strategis, semisal dekat
dengan
tempat tinggal atau kantor mereka. Karenanya, tidak mengherankan apabila
lokasi-lokasi tempat kegiatan tersebut justru berada di mal-mal. Sekali
lagi, dalam kemasan yang sedemikian rupa. Sehingga tidak lagi terlalu
menunjukkan bahwa tempat tersebut adalah sekadar fasilitas olahraga
seperti yang biasanya didatangi oleh para atlet profesional.
Dalam perkembangannya, aktivitas olahraga para kelas menengah baru
ini juga merambah kepada cabang-cabang olahraga lain seperti lari dan
bersepeda. Lari maraton misalnya. Sebenarnya di Indonesia lari maraton
telah lama dikenal tidak hanya sebatas salah satu cabang olahraga
atletik. Sudah semenjak akhir dekade 1980-an, kegiatan lari maraton 10K
menjadi kegiatan tahunan yang dilakukan oleh PB PASI di beberapa daerah,
seperti Bali dan Jakarta. Kegiatan ini mendapat dukungan dari
pemerintah ketika itu karena sebagai salah satu strategi mendorong
pariwisata Indonesia.
Seiring dengan perkembangan kebiasaan para kelas menengah baru
tersebut, kegiatan serupa kini semakin banyak. Para sponsor pun semakin
beragam. Para sponsor ini melihat bahwa kegiatan ini merupakan salah
satu bentuk promosi yang potensial bagi produk mereka. Sehingga tren ini
benar-benar dimanfaatkan oleh para produsen tersebut.
Industri hiburan
Aktivitas lain yang dilakukan oleh kelas menengah baru atau kaum “new leisure class”
ini adalah mencari penghiburan. Di antaranya adalah mendengarkan musik
dan menonton film. Konser musik dan pemutaran film telah memiliki
sejarah panjang dalam peradaban manusia di muka bumi ini. Hingga pada
akhirnya sejumlah genre dalam musik dan film bermunculan seiring dengan
selera dari para penggemarnya.
Mencermati aktivitas ini dalam kerangka mengisi waktu luang, hal
tersebut pada satu sisi mungkin benar adanya. Terkhusus pada kelompok
kelas menengah baru tersebut. Di tengah kesibukan rutin mereka,
mendengarkan atau bahkan menonton konser musik atau film adalah bentuk
‘pelarian’ waktu mereka. Melalui berbagai aktivitas tersebut mereka
berharap dapat melepas kepenatan yang selama ini mereka rasakan.
Benarkah pemborosan?
Berangkat dari berbagai hal yang disampaikan sebelumnya, pertanyaan yang muncul kemudian, benarkah itu merupakan conspicuous consumption
dan sekaligus tanpa tujuan atau makna? Bagi sebagian kelompok
masyarakat terutama kalangan menengah ke bawah, mungkin berbagai bentuk
aktivitas tersebut adalah yang pemborosan.
Mengacu pada analisis Maslow, jelas pandangan tersebut dapat
dimengerti. Karena pada lapisan masyarakat bawah, menonton konser musik
atau film mungkin baru sebatas angan-angan. Sementara, kegiatan yang
oleh kaum new leisure class disebut olahraga, bagi kalangan
bawah adalah kegiatan yang menjadi keseharian hidup mereka. Sebagaimana
menggotong karung beras yang beratnya sama dengan beban barbel di
berbagai arena fitness.
Namun apabila mencermati kembali berbagai aktivitas para kelas
menengah baru tersebut sesungguhnya adalah bentuk pengejawantahan atas
apresiasi seni. Aktivitas makan misalnya, berkembangnya industri kuliner
yang tidak semata memenuhi kebutuhan dasar manusia, telah pula
memasukkan unsur seni. Bentuknya jelas, dapat dilihat dari berbagai
bentuk cara penyajiannya. Volume makanan yang tidak banyak dan harga
yang terkadang ‘fantastis’ namun dikemas dalam penyajian yang unik
adalah hal yang semakin sering kita temui.
Begitu pula dengan berbagai kegiatan yang disebut dengan olahraga. Kemasan yang cantik dari berbagai event olahraga lari maraton, sesungguhnya menunjukkan bahwa kaum new leisure class
telah memiliki pemaknaan baru atas aktivitas olahraga. Olahraga
merupakan instrumen sosialisasi, yang telah menjadi bagian dari gaya
hidup. Dimana gaya hidup adalah pengejawantahan atas apresiasi seni itu
sendiri. Jadi, nikmatilah hidupmu kalau kau memang ingin masuk surga!
Selamat menikmati libur lebaran....
*)Peneliti Visi Teliti Saksama
#GayaHidupProduktif #AgentOfChange #sccaparkost #scc #aparkost #WeCreateAgentOfChange #WCAC