Selasa, 07 Januari 2020

Dunia Serba Digital, Gaya Hidup Harus Dikendalikan

Harianjogja.com, JAKARTA--Gaya hidup digital atau digital lifestyle bisa diartikan sebagai kehidupan yang semakin sederhana dan mudah karena adanya penggunaan teknologi. Gaya hidup digital sebelumnya telah dipopulerkan oleh pendiri Microsoft Bill Gates.

Tren gaya hidup digital di era saat ini sulit ditinggalkan. Pasalnya penggunaan teknologi sudah sangat erat di kehidupan sehari-hari. Misalnya mulai dari smartphone, kamera yang dapat digunakan untuk membuat vlog liburan, smartwatch tahan air yang digunakan untuk mengontrol kesehatan, hingga produk keuangan yang serba digital.

Bill Gates juga mengungkapkan produktivitas seseorang akan maksimal apabila beradaptasi dengan gaya hidup digital. Lantas apakah masyarakat kini dapat beradaptasi atau memanfaatkan dengan benar atau malah dimanfaatkan?.

Misalnya saja, berdasarkan hasil survei tahunannya Indonesian Digital Mums (IDM) 2018, The Asian Parent menggambarkan tren perilaku online lebih dari 1.000 ibu-ibu digital masa kini. Laporan tersebut menyebutkan bahwa sebanyak 99% ibu di Indonesia menjadi penentu belanja rumah tangga. Data tersebut juga didukung dengan peningkatan penggunaan internet sebanyak 48,7%.

Seperti ibu-ibu di negara-negara Asia Tenggara lainnya, ibu di Indonesia semakin aktif mengonsumsi internet dan semakin cerdas secara digital. Kondisi tersebut dapat menjadi peluang untuk mendongkrak angka konsumsi di Indonesia.

Berdasarkan survei, temuan kunci yang diperoleh misalnya para ibu mengaku mereka sering mengunjungi situs parenting sebanyak 24%, bermain media sosial sebesar 20% dan berbelanja secara online mencapai 19%.

Selain itu, bedasarkan hasil Survei MarkPlus menyebutkan 46% milenial mengakses e-commerce sebanyak empat kali dalam tiga bulan terakhir, dan sebanyak 91% mengakses melalui HP mereka. Hal tersebut menunjukan gaya hidup digital mulai meningkat adopsinya di masyarakat Indonesia.

EVP, Head of Wealth Management & Retail Digital Business Commonwealth Bank mengatakan memang belum terdapat studi khusus untuk mempelajari perilaku pengendalian gaya hidup digital. Namun, dia menyarankan untuk melakukan pembatasan jumlah uang yang ditransfer dalam e-wallet dari aplikasi-aplikasi belanja. “Secara tidak langsung ini juga mengendalikan gaya hidup digital,” kata Ivan kepada Bisnis, dikutip Kamis (20/12/2018)

Terdapat dua hal yang dapat dilakukan, lanjutnya, pertama adalah memprioritaskan menabung atau berinvestasi terlebih dahulu sebesar 20%-30% dari pendapatan bulanan, setelah itu baru berbelanja.

Kedua, rajin mencatat pengeluaran setiap bulan, hal tersebut akan memudahkan kita untuk meninjau ulang pengeluaran. Sehingga mengetahui barang apa yang bisa hemat di belanja bulanan berikutnya. Menggunakan aplikasi finansial yang mempunyai fitur budgeting untuk membantu mencatat ataupun mengontrol pengeluaran, sehingga tidak terjebak dalam hidup boros.

Dia mengataka apabila pengeluaran untuk aktivitas daring itu adalah untuk memudahkan dalam belanja kebutuhan bulanan, maka belanja online disesuaikan dengan catatan kebutuhan rutin bulanan, sehingga tidak overspend.

“Apabila aktivitas online dilakukan bukan untuk kebutuhan rutin bulanan, targetkanlah maksimal pembelian setengah dari kebutuhan rutin bulanan, sekitar 25% dari pendapatan bulanan,” katanya.

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia


#sccaparkost #AgenPerubahan #GayaHidupProduktif #AgentOfChange #aparkost #infomakassar

Senin, 06 Januari 2020

5 Kebiasaan Ini Akan Menjadikanmu Semakin Dekat dengan Hedonisme!

Hidup secara hedonisme sebenarnya impian dari semua orang. Selalu berbahagia dan bersenang-senang sepanjang waktu mungkin sudah membius banyak orang untuk menganutnya. Terlebih dengan kehadiran sosmed yang semakin memberi janji hedonisme yang praktis.
Namun, adakalanya pengaruh buruk dan sisi negatif hedonisme semakin membawa kita jauh dari manusia pada normalnya.
Di mana ada kesenangan, maka sudah pasti diawali dengan kesulitan dan kesedihan sebelumnya. Perasaan suka dan duka akan dihadapi manusia secara silih berganti sebagaimana sistem keseimbangan dari hidup manusia itu sendiri. Maka paham hedonisme sudah sepatutnya kita buang jauh-jauh karena hidup ini bukan hanya tentang bersenang-senang.
Namun terkadang tanpa kita sadari, sikap dan perilaku sehari-hari justru membawa kita semakin dekat dengan hedonisme. Agar tidak lebih jauh melangkah, coba koreksi lima kebiasaan hidup berikut yang mendekatimu ke hedonisme.

1. Menghindari masalah dan takut menghadapi kenyataan

Jika kamu adalah manusia yang berpikiran praktis, maka pergi dari masalah adalah solusi yang menurutmu paling cepat. Namun hati-hati dengan keseringan lari dari masalah justru akan menjadikanmu manusia yang lemah dan pemalas. Sikap pemalas inilah yang melekat erat pada si penganut hedonisme.
Mereka lebih suka cara-cara yang instan dan menjanjikan kebahagiaan banyak dibandingkan bersusah payah menyelesaikan masalah.

2. Memiliki budaya konsumtif yang tinggi

Lebih besar pasak daripada tiang. Apa jadinya jika pengeluaran bulananmu jauh lebih besar dibandingkan pemasukan ke rekeningmu? Hidup secara konsumtif berlebihan akan menjuruskanmu ke dalam hedonisme.
Kesenangan untuk membelanjakan semua uangmu akan berdampak buruk untuk hidupmu. Lebih baik mengatur keuangan secara sehat dan menahan diri dalam menggunakannya.

3. Hanya berorientasi pada uang

Bekerja untuk mendapatkan uang itu memang wajar. Tapi melakukan segala hal dalam hidupmu hanya untuk uang semata hanya akan mempersempit pikiran dan mendekatkanmu ke dalam hedonisme. Tidak semua pekerjaan harus menjurus ke uang.
Sesekali untuk menghindarimu dari orientasi uang semata, lakukanlah nilai-nilai sosial yang membuka pikiran dan hati.

4. Memiliki impian besar namun tidak pernah bergerak untuk mewujudkannya

Berkhayal, melamun, dan bermimpi besar itu diperlukan dalam hidup. Bahkan seseorang yang sukses selalu mengawali hidup dengan berkhayal dan berimajinasi tinggi setiap hari. Hanya saja, tanpa sebuah gerakan kecil, mimpi besar tersebut hanya akan menguap dalam ruangan kosong.
Seorang hedonisme selalu menyukai sesuatu yang instan. Dibandingkan bekerja keras dan membuahkan hasil. Dia lebih suka berkhayal dalam mimpi dan berharap kelak ada keajaiban yang mengabulkan mimpinya.

5. Selalu menekan orang lain untuk memenuhi keinginanmu

Sikap malas dan tidak ingin bekerja keras adalah ciri-ciri dari hedonisme. Mereka cenderung mencari kenyamanan dan kebahagiaan secara instan tanpa memikirkan dampak masa depan. Dan terkadang sikap mereka yang arogan dan egois dapat menekan dan menyakiti hati orang lain.
Sikap dan perilaku sehari-hari dapat membawamu ke pengaruh hedonisme tanpa kamu sadari. Membiasakan hidup sederhana dan menyukai tantangan adalah cara untuk keluar sedikit demi sedikit dari pengaruhnya.
Karena tidak ada yang kesenangan yang sempurna tanpa diiringi dengan segala kerja keras untuk meraih kesenangan itu sendiri.


Yenny Anggrainy Photo Community Writer Yenny Anggrainy
Penulis dan calon pengusaha 



#GantiGayaHidup #GayaHidupProduktif #ayoinvestasi #AgentOfChange #ubahcarapandang #sccaparkost #scc #aparkost #WeCreateAgentOfChange #WCAC #AgenPerubahan

Kamis, 26 Desember 2019

7 Prinsip Atur Uang Ala Pebisnis Dunia Warren Buffet

AKURAT.CO Warren Buffet adalah pebisnis yang dikenal diseluruh dunia. Kepiawaiannya berinvestasi dan berbisnis membuatnya dijadikan salah satu inspirasi oleh para pebisnis saat ini. Dibalik kesuksesannya itu, bakal tentu dirinya memiliki prinsip dalam keuangan. Berikut prinsip mengatur keuangan ala Warren Buffet.

1. Nilai dan harga
Kehilangan uang adalah hal yang paling tidak disarankan oleh Warren. Jika memang kita ingin membelanjakan uang, harus ada nilai yang didapat, agar tidak rugi.

2. Tabungan adalah utama
Berapapun pemasukan, pastikan tabungan adalah prioritas utama dan harus dijadikan sebagai kebiasaan. Jangan menabung dari apa yang tersisa tetapi menabung sebelum ada yang tersisa.

3. Jauhi utang
Orang tidak perlu berutang, dengan pengelolaan yang cerdas dan mendalam maka bisnis bisa bertahan dan berkembang tanpa utang.

4. Uang kas sebagai dana darurat
Bagi bisnis ataupun keuangan pribadi, dana darurat haruslah disiapkan. Banyak perusahaan-perusahaan yang akhirnya tumbang dihantam krisis karena ketiadaaan kas yang cukup.

5. Investasi terbaik adalah investasi diri
Investasi terbaik adalah menginvestasikan segalanya kepada pengembangan kemampuan diri. Tentu saja dengan pertimbangan peluang dan hasil dari peluang tersebut sebagai dasar untuk menentukan fokus pengembangan diri.

\6. Memberi
Kesuksesan merupakan andil dari orang lain. Maka dari itu, beramal adalah satu hal yang paling disarankan untuk selalu dilakukan.

7. Sabar dan visioner
Berbisnis adalah beradu dengan waktu. Tidak ada yang dilakukan tanpa proses entah seberapa besarpun sumbernya. Teruslah berusaha untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik lagi kedepannya.[]

Editor: Prabawati Sriningrum


#sccaparkost #AgenPerubahan #GayaHidupProduktif #AgentOfChange #aparkost #infomakassar

Minggu, 15 Desember 2019

Pilihan Investasi, Apakah yang Jadi Pertimbangan untuk Investasi Properti

WARTA KOTA, PALMERAH--- Sekarang sudah bayak pilihan dan cara seseorang untuk berinvestasi.. Akan tetapi sering kali muncul pertanyaan di benak, apakah ini saat yang tepat untuk berinvestasi di properti? Bila ingin serius berinvestasi di sektor properti, bisa memilih rumah, apartemen, atau bangunan komersial.


Bagaimanapun, properti merupakan investasi jangka panjang yang besar meskipun harganya dapat berfluktuasi secara liar dalam jangka pendek dan tergantung pada keadaan ekonomi. Jadi, apa yang perlu dipertimbangkan jika Anda ingin berinvestasi di properti?

Biaya

"Lihatlah resesi terakhir dan Anda melihat penurunan harga yang besar di tempat-tempat seperti Las Vegas di mana ada kenaikan besar sementara tempat-tempat seperti Austin, yang tidak memiliki lonjakan besar, datar," kata salah satu pendiri dan CEO BuildFax, Holly Tachovsky.

Tachovsky mengatakan, setiap investor yang memandang perumahan sebagai investasi harus melakukan pekerjaan rumah mereka.
"Pertimbangkan pemeliharaan yang ditangguhkan dan biaya tersembunyi lainnya," katanya.


Investor yang berpikir tentang properti mungkin ingin mempertimbangkan properti komersial juga. CEO CrowdStreet, pasar investasi real estat komersial online, Tore Steen, mengatakan, investor harus mencari tempat dengan pertumbuhan lapangan kerja yang baik.
Sementara itu, Chief Marketing officer CrowdStreet, Brent Hieggelke, mengatakan, investor harus mencari jenis properti yang dapat bertahan dengan baik bahkan dalam ekonomi yang lebih lembut.


"Apa yang Anda inginkan adalah portofolio yang seimbang. Perumahan siswa dan pusat kehidupan senior sama-sama tumbuh demografi yang cukup bukti resesi," katanya.

Tak Perlu Jadi Miliarder
Jika ingin berinvestasi di properti, Anda harus memastikan bahwa telah menyimpan banyak uang tunai terlebih dahulu. Baik untuk uang muka atau untuk berinvestasi dalam dana properti. CrowdStreet, misalnya, memiliki investasi minimum 25.000 dollar AS untuk berbagai dana.


Namun, ada cara yang lebih murah untuk berinvestasi di properti. Membeli properti Investment Trust atau biasa disebut (REIT) bisa menjadi pilihan yang pas karena harga yang terjangkau bagi investor konservatif. Investor juga mendapat dividen yang menguntungkan yang dapat membantu memberikan penghasilan yang stabil, seperti halnya obligasi. Jadi, Anda tidak perlu menjadi miliarder atau bahkan miliarder untuk menjadi seorang maestro properti.


Disadur dari

#sccaparkost #AgenPerubahan #GayaHidupProduktif #AgentOfChange #aparkost #infomakassar

Minggu, 08 Desember 2019

Konsumerisme Sudah Menjadi Budaya dan Jadi Persoalan Serius

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -  Dosen Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Dr Karlina Supelli menyatakan, saat ini konsumerisme menjadi budaya di lingkungan masyarakat Indonesia.
Budaya konsumerisme  merupakan persoalan utama dan serius.
"Penelitian LIPI menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia menduduki peringkat ketiga dari 106 negara di dunia yang diukur terkait tingkat kepercayaan diri untuk berbelanja," kata pada Serial Fokus Group Discussion (FGD) serial-6 yang digelar PPAD, FKPPI dan YNSB bertema Strategi Kebudayaan Kontekstual Dalam Pembangunan Karakter Bangsa, kemarin.
Karlina membandingkan Indonesia dengan dua negara kaya, Skandinavia dan Swiss yang justru menempati urutan ke 60 dan 70 dalam hal kepercayaan diri untuk berbelanja.
“Ini memunculkan lingkaran setan, masyarakat menjadi tidak produktif dan cenderung menjadi konsumen dan ini harus mendapat perhatian," kata Karlina.
Karlina juga menyoroti persoalan korupsi yang kini dihadapi Indonesia dalam membangun negara.
Menurut dia, mengubah kebiasaan sehari-hari, diantaranya mengubah budaya baik cara berpikir, merasa dan bertindak merupakan cara mengatasinya.
Karlina menekankan pentingnya membangun kebiasaan-kebiasaan yang bukan hanya personal, tetapi juga kebiasaan personal yang punya efek bagi kebaikan hidup bersama.
Bambang Wibawarta menyoroti rendahnya Human Capital Index Indonesia di ASEAN yang mengalami penurunan sehingga menyebabkan bangsa Indonesia kehilangan daya saing dan ini akan lebih sulit menghadapi era globalisasi.
"Karenanya diperlukan strategi kebudayaan untuk dijadikan benteng menghadapi segala tantangan bangsa.
"Ini memiliki dua makna yakni strategi pengembangan dan pelestarian kebudayaan dan strategi sebagai pendekatan untuk menyelesaikan masalah sosial, ekonomi, politik, menghadapi proxy war dan neocortical war yaitu cara perang tanpa penggunaan kekerasan," katanya.
GFD tersebut menjadi rangkaian Simposium Nasional Kebudayaan bertema Pembangunan Karakter Bangsa Untuk Melestarikan dan Mensejahterakan NKRI Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.


#sccaparkost #AgenPerubahan #GayaHidupProduktif #AgentOfChange #aparkost #infomakassar

Rabu, 27 November 2019

Menakar Gaya Hidup Kaum Kelas Menengah Baru

“Muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga”
04 Juni 2019 , 08:15
 
Oleh Nugroho Pratomo*

Pada masa sekitar dekade 1980-an, Jalan Melawai dan sekitarnya di kawasan Blok M Jakarta Selatan, dikenal oleh para remaja di kala itu sebagai salah satu daerah tempat “nongkrong” yang asyik. Banyak remaja di masanya yang menjadikan kawasan tersebut sebagai tempat untuk berkumpul terutama sepulang sekolah.

Wajar saja, karena pada tahun-tahun tersebut belum banyak dikenal pusat-pusat perbelanjaan atau yang biasa disebut dengan mal di Jakarta. Begitu terkenalnya kawasan tersebut, hingga para musisi juga menciptakan sebuah lagu yang berjudul “Lintas Melawai” yang dinyanyikan oleh Hari Moekti. Sebuah lagu yang menggambarkan fenomena sosial di Jakarta kala itu.

Seiring dengan perkembangan zaman, selanjutnya, sejak pertengahan dekade 1990-an hingga awal tahun 2000-an, kawasan Jalan Kemang di Jakarta Selatan, dikenal sebagai salah satu kawasan wisata. Banyak kafe, restoran, hotel, bermunculan. Karenanya pula, daerah tersebut semakin tumbuh dan dikenal oleh banyak kalangan.

Berbeda dengan kawasan Melawai, kawasan Jalan Kemang juga banyak dikenal oleh kalangan warga asing. Hal ini tidak mengherankan, karena di daerah tersebut juga tidak sedikit warga asing atau para ekspatriat yang tinggal di sekitar Kemang.

Tumbuhnya kawasan Kemang yang salah satunya ditandai oleh berjamurnya kafe tersebut, juga menarik perhatian para eksekutif muda. Para eksekutif muda dan para kelas menengah baru yang ketika itu mulai merasakan euforia bekerja dan memiliki penghasilan sendiri, juga menjadikan kawasan Kemang sebagai salah satu tempat bertemu.

Banyak dari mereka (termasuk juga penulis) ketika itu, terutama pada saat akhir pekan, berkumpul dengan teman-teman di kafe-kafe sambil mendengarkan musik hidup (live music). Kebetulan ketika itu pula, telepon selular telah mulai banyak digunakan. Hal tersebut sedikit banyak, juga mempermudah komunikasi untuk membuat janji bersua di akhir pekan sepulang berativitas rutin di tempat kerja.

Seiring dengan perjalanan waktu, terjadi pula perubahan dalam struktur sosial dan ekonomi di masyarakat. Hal tersebut juga diikuti oleh perubahan gaya hidup. Semakin berkembangnya mal-mal di berbagai kota besar, penetrasi dari sejumlah coffee shop internasional, juga telah memaksa perubahan gaya hidup terjadi di tengah masyarakat. Masyarakat khususnya di kota-kota besar seringkali menghabiskan waktu luangnya untuk mengunjungi mal.

Sebagai sebuah sarana one stop service, mal memang telah memanjakan masyarakat dengan berbagai tawaran untuk terus berkonsumsi. Berbagai aktivitas mulai dari makan, berolahraga, menonton film dapat dilakukan di sana. Pendeknya, mal telah menjadi gaya hidup sebagian kelompok masyarakat, khususnya di kota-kota besar di Indonesia.  

Meski demikian, hal tersebut bukan berarti bahwa tidak ada lagi aktivitas yang dilakukan di luar mal. Seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan dan pendapatan, perubahan sosial juga ditunjukkan dengan semakin meningkatnya kesadaran atas kesehatan dan juga lingkungan. Hal ini sejalan dengan apa yang sering digambarkan oleh Maslow.

Perubahan sosial ini ditunjukkan dengan adanya berbagai kegiatan yang pada akhirnya juga menuntut munculnya berbagai jenis permintaan baru. Bentuk-bentuk permintaan baru ini bagi sebagian kelompok masyarakat memang seringkali dilihat sebagai sebuah bentuk pemborosan. Namun pada saat yang bersamaan, hal tersebut juga berarti peluang bisnis baru. Tergantung pada bagaimana orang memaknainya.   

Waktu luang
Berbagai kegiatan sebagaimana digambarkan tersebut, pada dasarnya bukan hanya sekadar fenomena yang terjadi di Jakarta. Perilaku serupa juga banyak terjadi di kota-kota lain di luar Jakarta. Pola serupa bahkan sudah banyak terjadi di negara-negara lain. Terlebih di negara-negara industri/ maju.  

Kemunculan berbagai bentuk aktivitas seperti tersebut, pada satu sisi seringkali dinilai memberikan dampak yang negatif. Pendapat tersebut pada dasarnya memang cukup beralasan. Karena kebiasaan tersebut jelas berpengaruh pada pola konsumsi orang. Orang-orang seringkali dinilai cenderung akan lebih konsumtif, terlebih pada hal-hal yang sebenarnya bukan merupakan kebutuhan pokok manusia.

Namun pada saat yang bersamaan, perubahan pola konsumsi tersebut juga memberikan dampak yang negatif. Khususnya jika dilihat dari sisi ekonomi. Perubahan pola konsumsi, pada dasarnya juga merupakan potensi untuk terjadinya peningkatan konsumsi. Termasuk di dalamnya menciptakan jenis konsumsi baru. Artinya, terjadinya tuntutan untuk lebih kreatif dalam pemenuhan permintaan baru tersebut.

Dalam pandangan sosiologi ekonomi atau ekonomi institusional lama (old institutional economics), berbagai kegiatan untuk mengisi waktu luang itulah yang pada akhirnya melahirkan kelas menengah baru. Sebuah kelompok masyarakat yang dalam analisis struktur sosial seringkali dinilai sebagai kelompok yang memiliki potensi kemampuan untuk melakukan perubahan sosial di tengah masyarakat. Namun oleh Veblen kelas menengah tersebut dinamakan “leisure class”.  

Dalam karya klasiknya “The Theory of the Leisure Class”, Thorstein Veblen menjelaskan adanya sekelompok orang yang mencoba untuk menghabiskan waktunya dengan cara melakukan sejumlah aktivitas yang bertujuan untuk menikmati hidupnya bersama dengan kelompoknya. Veblen kemudian menyebutnya sebagai ‘conspicuous consumption’.  Conspicuous consumption adalah kegiatan mengonsumsi sesuatu hal tanpa ada tujuan yang pasti.

Namun demikian, melakukan tindakan konsumsi tanpa tujuan tersebut sebenarnya bukan berarti bahwa mengonsumsi tidak menimbulkan konsekuensi. Konsekuensi itulah yang seharusnya dapat ditangkap sebagai sebuah peluang bisnis. Dengan demikian, conspicuous consumption justru menjadi hal yang positif dilihat dari sisi produksi. Mencermati dari sisi produksi, maka sejumlah sektor ekonomi justru tumbuh dan berkembang dari kondisi di saat orang-orang mengisi waktu luang tersebut.  

Perjalanan
Salah satu cara untuk mengisi waktu luang adalah dengan melakukan perjalanan ke sejumlah tempat. Perkembangan teknologi khususnya di bidang transportasi dan telekomunikasi, memang memungkinkan hal itu terwujud. Terlebih berkembangnya berbagai bentuk media sosial memungkinkan promosi objek wisata atau suatu lokasi yang unik  menjadi jauh lebih mudah dan murah. Karena kenyataan menunjukkan bahwa pemasaran melalui instrumen media sosial, memang terbukti telah memberikan pengaruh yang besar. Terutama untuk menarik perhatian para wisatawan.   

Dalam kerangka memanfaatkan aktivitas pada waktu luang tersebut, industri perjalanan (tour & travel) tumbuh dan berkembang. Sektor bisnis ini justru menginginkan bahwa orang-orang memiliki waktu luang yang lebih banyak. Sehingga, waktu yang digunakan untuk melakukan aktivitas ‘jalan-jalan’ semakin panjang.

Kuliner
Berbeda dengan industri perjalanan, industri kuliner relatif lebih memanfaatkan waktu luang atau conspicuous consumption tersebut. Hal ini karena industri kuliner tidak terlepas dari kebutuhan dasar manusia, yaitu makan. Hal yang dibutuhkan hanyalah kemampuan untuk mengemasnya dalam bentuk tawaran yang lebih menarik. Dengan demikian aktivitas yang awalnya untuk memenuhi kebutuhan dasar (mengenyangkan diri), tidak lagi sebatas pada pemenuhan nafsu tersebut.

Salah satu caranya tentu kembali menjadikan pemenuhan kebutuhan tersebut sebagai sebuah gaya hidup. Akibatnya seperti yang kita sering jumpai di berbagai tempat.  Aktivitas makan, saat ini seringkali menjadi aktivitas sampingan ketimbang sebagai sebuah mekanisme pemenuhan kebutuhan dasar.

Pada beberapa kalangan masyarakat, kegiatan tersebut justru hanya dijadikan alasan untuk mencapai tujuan lain. Misalnya, lobi. Undangan makan seringkali digunakan sebagai sebuah cara untuk melakukan negosiasi bisnis. Begitu pula apabila beberapa kelompok masyarakat membuat acara buka puasa bersama. Tujuannya jelas, lebih pada upaya untuk lebih mempererat silaturahmi.

Industri kebugaran
Sebagaimana disampaikan sebelumnya, seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan dan pendapatan  masyarakat, maka terjadi pula perubahan status sosial serta gaya hidup. Salah satu dampaknya pu;a adalah semakin meningkatnya kesadaran tentang kesehatan. Hal tersebut pada akhirnya juga memberikan peluang tersendiri dalam pengembangan bisnis dan sektor ekonomi berbasis pada waktu luang.

Berkembangnya berbagai bisnis seperti fitness center, latihan yoga dan pilates di beberapa daerah di Indonesia, khususnya di kota-kota besar adalah salah satu indikatornya. Pada dasarnya industri ini tumbuh dan berkembang sebagai salah satu upaya menangkap adanya kebutuhan atas keinginan dari sejumlah kelas menengah baru di masyarakat yang mencari tempat untuk dapat mengolah tubuh mereka.

Namun pada saat yang bersamaan, para kelas menengah baru ini juga menginginkan tempat yang berlokasi strategis, semisal dekat 
dengan tempat tinggal atau kantor mereka. Karenanya, tidak mengherankan apabila lokasi-lokasi tempat kegiatan tersebut justru berada di mal-mal. Sekali lagi, dalam kemasan yang sedemikian rupa. Sehingga tidak lagi terlalu menunjukkan bahwa tempat tersebut adalah sekadar fasilitas olahraga seperti yang biasanya didatangi oleh para atlet profesional.

Dalam perkembangannya, aktivitas olahraga para kelas menengah baru ini juga merambah kepada cabang-cabang olahraga lain seperti lari dan bersepeda. Lari maraton misalnya. Sebenarnya di Indonesia lari maraton telah lama dikenal tidak hanya sebatas salah satu cabang olahraga atletik. Sudah semenjak akhir dekade 1980-an, kegiatan lari maraton 10K menjadi kegiatan tahunan yang dilakukan oleh PB PASI di beberapa daerah, seperti Bali dan Jakarta. Kegiatan ini mendapat dukungan dari pemerintah ketika itu karena sebagai salah satu strategi mendorong pariwisata Indonesia.

Seiring dengan perkembangan kebiasaan para kelas menengah baru tersebut, kegiatan serupa kini semakin banyak. Para sponsor pun semakin beragam. Para sponsor ini melihat bahwa kegiatan ini merupakan salah satu bentuk promosi yang potensial bagi produk mereka. Sehingga tren ini benar-benar dimanfaatkan oleh para produsen tersebut.   

Industri hiburan
Aktivitas lain yang dilakukan oleh kelas menengah baru atau kaum “new leisure class” ini adalah mencari penghiburan. Di antaranya adalah mendengarkan musik dan menonton film. Konser musik dan pemutaran film telah memiliki sejarah panjang dalam peradaban manusia di muka bumi ini. Hingga pada akhirnya sejumlah genre dalam musik dan film bermunculan seiring dengan selera dari para penggemarnya.

Mencermati aktivitas ini dalam kerangka mengisi waktu luang, hal tersebut pada satu sisi mungkin benar adanya. Terkhusus pada kelompok kelas menengah baru tersebut. Di tengah kesibukan rutin mereka, mendengarkan atau bahkan menonton konser musik atau film adalah bentuk ‘pelarian’ waktu mereka. Melalui berbagai aktivitas tersebut mereka berharap dapat melepas kepenatan yang selama ini mereka rasakan.      

Benarkah pemborosan?
Berangkat dari berbagai hal yang disampaikan sebelumnya, pertanyaan yang muncul kemudian, benarkah itu merupakan conspicuous consumption dan sekaligus tanpa tujuan atau makna? Bagi sebagian kelompok masyarakat terutama kalangan menengah ke bawah, mungkin berbagai bentuk aktivitas tersebut adalah yang pemborosan.

Mengacu pada analisis Maslow, jelas pandangan tersebut dapat dimengerti. Karena pada lapisan masyarakat bawah, menonton konser musik atau film mungkin baru sebatas angan-angan. Sementara, kegiatan yang oleh kaum new leisure class disebut olahraga, bagi kalangan bawah adalah kegiatan yang menjadi keseharian hidup mereka. Sebagaimana menggotong karung beras yang beratnya sama dengan beban barbel di berbagai arena fitness.

Namun apabila mencermati kembali berbagai aktivitas para kelas menengah baru tersebut sesungguhnya adalah bentuk pengejawantahan atas apresiasi seni. Aktivitas makan misalnya, berkembangnya industri kuliner yang tidak semata memenuhi kebutuhan dasar manusia, telah pula memasukkan unsur seni. Bentuknya jelas, dapat dilihat dari berbagai bentuk cara penyajiannya. Volume makanan yang tidak banyak dan harga yang terkadang ‘fantastis’ namun dikemas dalam penyajian yang unik adalah hal yang semakin sering kita temui.

Begitu pula dengan berbagai kegiatan yang disebut dengan olahraga. Kemasan yang cantik dari berbagai event olahraga lari maraton, sesungguhnya menunjukkan bahwa kaum new leisure class telah memiliki pemaknaan baru atas aktivitas olahraga. Olahraga merupakan instrumen sosialisasi, yang telah menjadi bagian dari gaya hidup. Dimana gaya hidup adalah pengejawantahan atas apresiasi seni itu sendiri. Jadi, nikmatilah hidupmu kalau kau memang ingin masuk surga! Selamat menikmati libur lebaran....

*)Peneliti Visi Teliti Saksama 


#GayaHidupProduktif #AgentOfChange #sccaparkost #scc #aparkost #WeCreateAgentOfChange #WCAC

Minggu, 24 November 2019

Bijak Mengelola Keuangan Pribadi dan Keluarga

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selain meningkatkan kecerdasan keuangan (financial intelligent) kita tiap waktu, salah satu masalah yang kerap kali menghampiri dalam pengelolaan keuangan pribadi dan keluarga adalah latah keuangan. Jika ingin mengubah nasib keuangan, maka perlunya mengubah cara berpikir-tindakan-kebiasaan-karakter, sehingga nantinya nasib keuangan kita insya Allah juga ikut berubah.

Dalam tangga motivasi keuangan pribadi dan keluarga, pada tangga terdalam ada yang dinamakan financial emulation (latah keuangan), suatu kondisi yang menggambarkan tingkat motivasi terendah. Yaitu dorongan untuk berbuat sesuatu karena ikut-ikutan, karena sebuah tren yang tengah berkembang secara meluas.

Misalnya, ketika lagi berkembang investasi tanaman gelombang cinta, Si Latah Keuangan ikut-ikutan berinvestasi.

Begitu ada yang menawarkan 'bagi hasil' 10 persen per bulan atawa 120 persen per tahun dalam Program MMM, berbondong-bondong Si Latah Keuangan sebagai orang terdepan menjadi juru bicaranya.

Motivasi semacam ini mudah sekali tergoyahkan. Apalagi jika antara harapan dan kenyataan jauh panggang dari api.

Hal ini secara mendasar terjadi lebih banyak disebabkan karena adanya inferior kompleks yang tinggi. Atau ketidaktahuannya terhadap identitas diri (krisis jati diri).

Intinya Si Latah Keuangan selalu minder, rendah diri dan malu dengan dirinya sendiri dalam hal pengelolaan keuangan. Bagi yang sudah akut mengalami sindrom inferior kompleks ini, selalu merasa kalau dirinya itu kurang pintar, kurang berharga, kurang penting dibandingkan orang lain.

Pun dalam hal pengelolaan keuangan pribadi dan keluarga. Alih-alih ingin agar dilihat lebih hebat dari orang lain dan menutupi kelemahan dirinya, yang terjadi malah berbalik semakin mengkerdilkan dirinya di hadapan orang lain secara keuangan.

Untuk itu agar tidak latah keuangan, berikut tipsnya:

1. Hargai berapapun uang yang kita miliki saat ini
Pada dasarnya uang itu tidak bisa ditahan-tahan keberadaannya di kantong. Semakin ditahan, maka semakin cepat pula keluarnya.

Yang bisa dilakukan adalah mengatur keuangan kita. Ketika dapat penghasilan/pendapatan, langsung bagi untuk kebutuhan masa paling depan, misalnya zakat/sedekah/perpuluhan/derma. Lalu kebutuhan masa lalu seperti utang, lalu kebutuhan masa depan seperti menabung dan investasi, baru akhirnya dihabiskan untuk kebutuhan masa sekarang. Dengan menghargai uang kita, sebenarnya kita sudah menghargai diri kita terlebih dahulu.

2. Hindari bersifat boros
Boros adalah berlebih-lebihan dalam pemakaian uang, barang, harta dan sebagainya. Boros itu juga sifat setan yang perlu kita hindari.

Kenapa kita jadi boros? Karena sisi emosional mengalahkan sisi rasional. Akibatnya otak dipenuhi oleh keinginan sesaat, yang pada ujungnya nanti muncul penyesalan.

Bagaimana agar kita tidak boros? Mencatat secara detail, apa saja yang menjadi kebutuhan kita.

Pisahkan, mana yang keinginan apalagi keinginan sesaat. Dengan itu, prioritas keuangan pribadi dan keluarga akan lebih terjaga dari sifat boros. Intinya adalah selalu melihat dari perspektif kebutuhan, bukan sekedar keinginan.

3. Rencanakan belanja kita, jangan belanja dadakan
Apa yang membedakan belanja di awal dan di akhir ketika orang menerima gaji?Selisihnya bisa hingga dua kali lipat, jika tidak terencana. Jika belanja bulanan terencana, maka selain efisien juga belanja benar-benar sesuai kebutuhan.

Kebutuhan belanja dalam keluarga terbagi dalam tiga jenis, pertama, family and personal care, meliputi berbagai barang untuk keperluan mandi dan lain-lain. Kedua, fresh care, meliputi aneka sayuran, daging, susu dan lainnya. Ketiga, frozen care, meliputi beras, minyak, aneka jenis bumbu masak dan lainnya.

Jadi, selalu rencanakan apa yang akan kita kerjakan terkait kebutuhan pribadi dan keluarga kita.

Rencana itu sebaiknya tertulis, dan begitu akan ke super market atau mini market atau grosir tempat kita biasa belanja, bawa catatan kebutuhannya.

4. Hindari utang, khususnya utang jelek (bad debt)
Orang yang tidak memahami cara uang bekerja, bisa dipastikan akan terjebak utang.
Karena konsumtivisme itu adalah keinginan yang melenakan, hingga akhirnya kita sadar tapi terlambat.

Utang dari sisi konsumen memang direncanakan untuk memudahkan. Jika hari ini kita tidak punya kendaraan bermotor, cukup DP Rp 500 ribu plus foto kopi kartu keluarga, hari ini atau besoknya kendaraan bermotor tersebut sudah nangkring di depan garasi rumah kita.

Begitu juga dengan barang-barang konsumtif yang lain. Pihak penyelenggara seperti leasing, bank, dan lainnya akan sangat senang ketika bisa meminjamkan uangnya.

Tetapi dari sisi konsumen yang tidak bijak, akan menambah masalah baru dalam kehidupannya. Apalagi jika total seluruh pinjaman kita itu melebihi angka 30 persen.

Artinya, kita sudah tidak sehat secara keuangan. Salah satu cara agar sehat keuangan adalah hindari utang, khususnya utang jelek (bad debt).

5. Hiduplah secukupnya
Idealnya kehidupan keuangan pribadi dan keluarga kita, ketika mendapakan penghasilan tidak boleh melebihi dari kebutuhan hidup dan gaya hidup kita. Kalaupun pendapatan aktif, produktif dan masif kita tinggi, usahakan gaya hidup dan kebutuhan hidup kita tetap. Sehingga ketika berapapun pendapatan kita, bisa 1, 2, 3 dan seterusnya, maka pengeluaran kita tetap satu.

Inilah yang disebut hidup secukupnya atau hidup semurah mungkin yang berarti kita bijak dalam pengelolaan keuangan pribadi dan keluarga.

\
#GayaHidupProduktif #AgentOfChange #sccaparkost #scc #aparkost #WeCreateAgentOfChange #WCAC

Investasi Jangka Panjang

Menanamkan dana untuk investasi merupakan pilihan yang tepat untuk masa depan. Pilihan investasi jangka panjang bisa menjadi pilihan...